Sabtu, 22 November 2014

Review Buku Mandar Nol Kilometer

BY Unknown IN , , No comments

Judul Buku : Mandar Nol Kilometer, Membaca Mandar Lampau dan Hari Ini
Penulis : Muhammad Ridwan Alimuddin
Penerbit : Ombak
Tahun : 2011


Berapa kali mengunjungi tanah Mandar meninggalkan kekaguman tersendiri. Seperti ada magnet kuat yang membuatnya untuk dikaji ulang bahkan diperhatikan lebih dekat. Pada suatu sore saat berkunjung ke toko buku, ada Mandar Nol Kilometer di sana. Buku di rak itu bergegas berpindah tangan.

*

Sebuah bacaan budaya yang menarik adalah bacaan yang disajikan secara etnografi, sebuah kajian komprehensif dan detail mengkaji kebiasaan masyarakat hingga menghasilkan sebuah budaya, adat-istiadat, bahasa, pola interaksi, serta hal paling terdalam dalam masyarakat, perasaan individu. Dan menurut saya, Mandar Nol Kilometer yang dituliskan oleh Muhammad Ridwan Alimuddin ini mengisi kehausan kita mengenai rekam jejak budaya bangsa. Siapa lagi yang harus menuliskannya jika bukan anak bangsa sendiri?

Secara garis besar, buku ini terbagi atas tujuh bagian tulisan. Masing-masing bagian diberi tema tertentu oleh penulis. Mulai dari sejarah Mandar hingga budaya literasi yang digiatkan oleh anak Mandar. Pada bagian sejarah, kita tidak diajak langsung bertamasya ke Mamuju, ibu kota Provinsi Sulawesi Barat, tapi ke sebuah kota bernama Tinambung. Selain tempat kelahiran penulisnya, Tinambung dulunya adalah sebuah kota dengan geliat pengetahuan yang tinggi.

Kampung Mandar, seperti halnya perkampungan Bugis, juga tersebar di beberapa wilayah di Indonesia. Kampung Mandar paling terkenal adalah Ujung Lero.

"Kampung orang Mandar yang paling terkenal adalah Ujung Lero di Kabupaten Pinrang, tak jauh dari kota Pare-pare. Wajar saja, letaknya hanya beberapa jam berlayar dari teluk Mandar,"
~hal.22, Mandar Nol Kilometer

Tanah Mandar juga terkenal dengan beragam kisah gaibnya. Penyebar Islam Tosalamaq Imam Lapeo, yang hingga kini masih bisa dijumpai makamnya di halaman Mesjid Nur Al-Taubah di Lapeo, memiliki kisah gaibnya tersendiri. Suatu ketika ia tengah berceramah pada murid-muridnya. Di tengah forum, ia lalu keluar ruangan dan melakukan gerakan dengan mengangkat tangan ke atas. Tak lama setelah itu, datanglah seorang tamu dari Bugis yang berterimakasih atas pertolongan Tosamaq Imam Lapeo. Tamu ini menceritakan pengalamannya diterjang ombak dan badai ganas di lautan lalu ditolong oleh Tosamaq Imam Lapeo.

Perkara tradisi juga menjadi hal yang penting di tanah Mandar. Posiq (pusar; pusat) memiliki posisi tersendiri dalam kebiasaan masyarakat. Jika membuat sesuatu, pastilah memiliki pusat. Bahkan jika mereka memiliki tradisi membuat mobil atau pesawat, pasti memiliki pusat. Istilah pusat pun juga berhubungan dengan perlakuan mereka ketika ada yang akan pergi melaut hingga hendak melaksanakan ibadah haji. Makna filosofis Posiq tak lain sebagai ritual yang menghubungkan manusia dan Tuhan dengan mengingatnya, mengingat bahwa padaNyalah harapan dari setiap usaha.

Budaya Mandar adalah apa yang ada di masa lalu, diyakini masyarakatnya, hingga terciptanya budaya baru sebab pertemuan budaya lain. Budaya kontemporernya juga bergeliat sering perkembangan zaman. Karya pemula menempati hati masyarakat. Saya jadi penasaran, bagaimana aroma film indie berjudul 45!!! karya anak Mandar.

Review Novel Milana

BY Unknown No comments

Judul Buku : Milana
Penulis : Benz Bara
Hal : 192
ISBN : 978-979-22-9507-8
Terbit : April 2013
Cover : Soft Cover

Milana adalah kumpulan cerpen tunggal pertama yang dituliskan oleh Bernard Batubara. Berisi lima belas cerita pendek bertema perempuan.

Lukisan Kali dan Pohon Tua, Beberapa Adegan yang Tersembunyi di Pagi Hari, Lelaki Berpayung dan Gadis Yang Mencintai Hujan, Goa Maria, Tikungan, Jung, Pintu yang Tak Terkunci, Cermin, Malaikat, Surat Untuk Fa, Hanya Empat Putaran, Semalam Bersama Diana Krall, The Beautiful Stranger, Semangkuk Bubur Cikini dan Sepiring Red Velvet, serta Milana, adalah judul cerita yang dituliskan dalam buku ini.

Bara, begitu penulis kerap disapa, cukup berani menulis tentang perempuan yang dituangkan dalam sebuah cerita pendek. Sebagian besar bercerita tentang romantika perpisahan, perselingkuhan, jatuh cinta, penantian, bahkan jati diri perempuan. Apresiasi besar harus diberikan pada sebab keberaniannya. Entah perempuan mana yang ditelitinya hingga ia membukukan kisah-kisah tadi.

Beberapa kisah membuat saya heran. Bisa jadi ini harapan Bara pada pembacanya. Beberapa kali saya harus menemukan kalimat-kalimat panjang, yang sebenarnya bisa dipendekkan lagi, agar lebih efektif. Sebagai pembaca, membaca sebuah kalimat dengan menahan napas adalah hal yang jarang disukai.

Sudut pandan Bara tentang perempuan mungkin berangkat dari pengalaman kesehariannya. Berapa banyak hubungan romantika yang pernah dijalinnya? Berapa kali sakit hati yang dirasakannya? Berapa sering sekingkuh, ditinggal pergi, serta rumitnya sebuah hubungan dialamainya? Mungkin itulah landasannya. Namun, Bara kurang mengksplore sudut pandangnya pada hal yang sifatnya detail pada perempuan. Emosi yang dibawanya dalam cerita masih butuh untuk dieksplor lagi.

Seperti pada cerpen Cermin. Bara harus jeli menghubungkan realita zaman. Apakah gadis jelita yang diceritakannya hidup pada zaman modern atau masa lalu di mana televisi tak dikenal. Detail teknis bahwa pria yang jatuh hati pada gadis, buruk rupa akibat cermin, harus diuraikannya menggunakan bahasa sastra. Alasan-alasan kecil mengapa si pria mengagumi ketampanannya, bagaimana rasanya memiliki cinta dalam hati yang tertahan, dan sebagainya.

Cerpen tentang perempuan yang dituliskan Bara semoga memberi pelajaran berharga bagi para perempuan dan membuatnya mampu memetik nasihat. Semoga melalui kisah yang ditulis Bara, perempuan di mana pun berada tak beranggapan bahwa hidup hanya tentang jatuh cinta pada pria, menangis ketika ditinggal, selingkuh saat memiliki pasangan, ataupun menanti penuh harap.

Hal yang juga mampu diragukan kemudian, bagaimana para remaja yang membaca kisah ini bisa berpikir kritis. Setiap orang memang memiliki kisahnya sendiri, namun terkadang khayalan bisa mengaburkan realita tentang siapa diri kita.

Selamat membaca Milana.