Judul Buku : Pahlawan-pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik
Penulis : Saya Sasaki Shiraishi
Format :Paperback
Jumlah Halaman : 11
Publikasi :
January 2014
Penerbit :Komodo Books
ISBN : 9786029137
Edisi : Bahasa Indonesia
***
Jika orang tua kita hidup di
masa pemerintahan orde baru, masa pemerintahan Soeharto sebagai
presiden ke-2 Indonesia, dan membandingkannya dengan masa pemerintahan
presiden-presiden setelahnya, maka sebagian dari mereka akan mengatakan
bahwa era Soeharto lebih enak. Entah apa yang menjadi indikator mengapa
mereka mengatakan enak.
Saya Sasaki Shiraishi memberikan penyajian fakta etnografis yang berbeda. Shiraishi membuka pendahuluan buku ini dengan menghubungkan konsep keluarga di Indonesia dengan pemerintahan Soeharto. Persepsi mantan penguasa 32 tahun di Indonesia itu tentang para pengawal, menteri, ajudan, atau pembantu-pembantu dekatnya disebut 'anak' oleh Soeharto. Dan sebaliknya, Soeharto akan disebut 'bapak' (Supreme Father) oleh 'anak-anaknya'.
Konsep keluarga yang dijelaskan oleh Shiraishi dalam buku ini adalah keluarga dalam arti hierarki. Dengan menganggap diri sebagai bapak, Soeharto menciptakan makna sebagai orang yang berkuasa atas anak-anaknya dan wajib untuk dipatuhi. Apa pun yang dikatakan oleh Soeharto, wajib untuk diikuti. 'Anak-anak' Soeharto kemudian dididik menggunakan prinsip kepemimpinan ABRI yang sekarang disebut TNI, yaitu Tut Wuri Handayani.
Tut Wuri Handayani yang diadopsi dari Ki Hajar Dewantara coba untuk ditafsirkan lain oleh Soeharto. Arti semboyan ini sebenarnya mengarah pada kebebasan setiap orang untuk mengembangkan diri namun ditafsirkan lain oleh Soeharto demi mewujudkan 'penertiban melalui penguasaan dan paksaan'. Beberapa prinsip pokok ajaran Ki Hajar Dewantara diperkenalkan oleh Soeharto untuk melembagakannya dalam sistem pendidikan 'benar' untuk diterapkan.
Dari kata 'keluarga' yang terdiri dari orang tua, kakek-nenek, kakak, adik, serta keluarga hingga kenalan menegaskan makna relasi kuasa. Bapak sebagai kepala keluarga disebut sebagai orang yang memiliki kuasa lebih besar. Konsep kuasa yang dilekatkan pada bapak dalam keluarga di Indonesia mengacu pada konsep bapak orde baru yang diinginkan Soeharto.
Hubungan dalam keluarga kemudian ditafsirkan sebagai relasi yang harus dipatuhi, ditaati, diikuti, sebagaimana model kepemimpinan ABRI atau TNI. Ini sangat jelas mengapa digunakan, untuk mewujudkan sesuatu yang tertib, dibutuhkan suatu paksaan.
Begitu pula di sekolah. Mengapa kita harus taat dan patuh pada Ibu/Bapak Guru di sekolah, yah...karena mengadopsi sistem ini. Jika kita mau merenung sejenak, yang harus dipikirkan, mengapa dalam konsep pendidikan kita patuh dan taat? Sebenarnya kepatuhan dan ketaatan kita untuk siapa?
Untuk apa para guru di sekolah membutuhkan kepatuhan kita? Kita harus mendefinisikan arti sekolah yang sesungguhnya. Jika sekolah hadir untuk mencetak manusia seragam, maka sistem komando itu dibutuhkan. Namun jika sekolah hadir untuk melahirkan manusia yang cerdas maka sistem komando tidak tepat digunakan.
Namun, inilah yang hadir hari ini di Indonesia. Empat generasi presiden yang memimpin Indonesia tak ubahnya Soeharto dalam hal pendidikan. Konsep Bapak/Ibu masih juga digunakan dalam arti perintah. Sekolah seperti sebuah cetakan besar untuk menghasilkan manusia pesuruh. Haruskah kita berhenti atau menarik diri dari sekolah?
Jika 'anak' melawan 'bapak', Shiraishi tak lupa pula menjelaskan bagaimana mahasiswa pada zaman itu diculik, disekap, dibunuh, hingga dimutilasi oleh rezim pemerintahan Soeharto karena mereka angkat bicara
Bahasa nasional membuat kaum muda menjadi bisu. Mereka digambarkan menjadi generasi bungkam yang tak tahu mengungkap pengekangan pada mereka. Bahasa nasional disebut tidak memilikinakar hanya karena sebagai bahasa perantara saja.
Soeharto memang dikenal memerintah dengan tangan dingin. Suara dibungkam, pelarangan karya Pramoedya Ananta Toer salah satunya menjadi contoh karya yang dilarang beredar oleh 'bapak'.
Mungkin, orangtua kita tidak sadar atas praktek sistemik yang diwariskan oleh rezim orde baru. Yang mereka tahu, hidup mereka sejahtera padahal tersiksa.
"Coba kecam raja-rajamu, belum habis kata-katamu berakhir menggeletat kau sudah akan roboh terkena mata pedang..."
(Pramoedya Ananta Toer
Saya Sasaki Shiraishi memberikan penyajian fakta etnografis yang berbeda. Shiraishi membuka pendahuluan buku ini dengan menghubungkan konsep keluarga di Indonesia dengan pemerintahan Soeharto. Persepsi mantan penguasa 32 tahun di Indonesia itu tentang para pengawal, menteri, ajudan, atau pembantu-pembantu dekatnya disebut 'anak' oleh Soeharto. Dan sebaliknya, Soeharto akan disebut 'bapak' (Supreme Father) oleh 'anak-anaknya'.
Konsep keluarga yang dijelaskan oleh Shiraishi dalam buku ini adalah keluarga dalam arti hierarki. Dengan menganggap diri sebagai bapak, Soeharto menciptakan makna sebagai orang yang berkuasa atas anak-anaknya dan wajib untuk dipatuhi. Apa pun yang dikatakan oleh Soeharto, wajib untuk diikuti. 'Anak-anak' Soeharto kemudian dididik menggunakan prinsip kepemimpinan ABRI yang sekarang disebut TNI, yaitu Tut Wuri Handayani.
Tut Wuri Handayani yang diadopsi dari Ki Hajar Dewantara coba untuk ditafsirkan lain oleh Soeharto. Arti semboyan ini sebenarnya mengarah pada kebebasan setiap orang untuk mengembangkan diri namun ditafsirkan lain oleh Soeharto demi mewujudkan 'penertiban melalui penguasaan dan paksaan'. Beberapa prinsip pokok ajaran Ki Hajar Dewantara diperkenalkan oleh Soeharto untuk melembagakannya dalam sistem pendidikan 'benar' untuk diterapkan.
Dari kata 'keluarga' yang terdiri dari orang tua, kakek-nenek, kakak, adik, serta keluarga hingga kenalan menegaskan makna relasi kuasa. Bapak sebagai kepala keluarga disebut sebagai orang yang memiliki kuasa lebih besar. Konsep kuasa yang dilekatkan pada bapak dalam keluarga di Indonesia mengacu pada konsep bapak orde baru yang diinginkan Soeharto.
Hubungan dalam keluarga kemudian ditafsirkan sebagai relasi yang harus dipatuhi, ditaati, diikuti, sebagaimana model kepemimpinan ABRI atau TNI. Ini sangat jelas mengapa digunakan, untuk mewujudkan sesuatu yang tertib, dibutuhkan suatu paksaan.
Begitu pula di sekolah. Mengapa kita harus taat dan patuh pada Ibu/Bapak Guru di sekolah, yah...karena mengadopsi sistem ini. Jika kita mau merenung sejenak, yang harus dipikirkan, mengapa dalam konsep pendidikan kita patuh dan taat? Sebenarnya kepatuhan dan ketaatan kita untuk siapa?
Untuk apa para guru di sekolah membutuhkan kepatuhan kita? Kita harus mendefinisikan arti sekolah yang sesungguhnya. Jika sekolah hadir untuk mencetak manusia seragam, maka sistem komando itu dibutuhkan. Namun jika sekolah hadir untuk melahirkan manusia yang cerdas maka sistem komando tidak tepat digunakan.
Namun, inilah yang hadir hari ini di Indonesia. Empat generasi presiden yang memimpin Indonesia tak ubahnya Soeharto dalam hal pendidikan. Konsep Bapak/Ibu masih juga digunakan dalam arti perintah. Sekolah seperti sebuah cetakan besar untuk menghasilkan manusia pesuruh. Haruskah kita berhenti atau menarik diri dari sekolah?
Jika 'anak' melawan 'bapak', Shiraishi tak lupa pula menjelaskan bagaimana mahasiswa pada zaman itu diculik, disekap, dibunuh, hingga dimutilasi oleh rezim pemerintahan Soeharto karena mereka angkat bicara
Bahasa nasional membuat kaum muda menjadi bisu. Mereka digambarkan menjadi generasi bungkam yang tak tahu mengungkap pengekangan pada mereka. Bahasa nasional disebut tidak memilikinakar hanya karena sebagai bahasa perantara saja.
Soeharto memang dikenal memerintah dengan tangan dingin. Suara dibungkam, pelarangan karya Pramoedya Ananta Toer salah satunya menjadi contoh karya yang dilarang beredar oleh 'bapak'.
Mungkin, orangtua kita tidak sadar atas praktek sistemik yang diwariskan oleh rezim orde baru. Yang mereka tahu, hidup mereka sejahtera padahal tersiksa.
"Coba kecam raja-rajamu, belum habis kata-katamu berakhir menggeletat kau sudah akan roboh terkena mata pedang..."
(Pramoedya Ananta Toer
0 komentar:
Posting Komentar