Senin, 02 Juni 2014

Gadis Pantai

BY Unknown IN , , No comments

Judul Buku : Gadis Pantai
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Jenis Buku : Roman Novel
Genre : Fiksi
Penerbit: Lentera Dipantera
Jumlah Halaman: 272
No ISBN : 979-97312-8-5

***

Pram selalu memukau dalam setiap tulisannya, termasuk kisah Gadis Pantai. Novel ini ditulisnya sebagai persembahan pada neneknya, seorang perempuan Jawa yang terpinggirkan oleh zaman. 

Seperti Tetralogi Pulau Buru, Gadis Pantai masih menceritakan Indonesia masa lalu. Saat pemerintahan kolonial berkuasa. Budaya yang ditampilkan dalam buku ini diceritakan dengan jujur. Dikisahkan dari latar belakang seorang gadis yang sehari-harinya tinggal di pesisir pantai. Ia disebut Gadis Pantai.

Buku ini adalah kisah sejarah tentang apa yang menimpa tanah jawa lengkap dengan penderitaan masyarakat yang tidak menempati kasta apa pun. Mereka hanyalah nelayan biasa, biasa tak makan, biasa tak mendapatkan uang, biasa tak sekolah, dan banyak biasa lainnya pada mereka. 

Jika berbicara budaya, kita akan berbicara produk ciptaan manusia. Tingkah laku dalam kesehariannya, yang dilakukan oleh banyak orang disekitarnya, hingga menjadi ciri suatu kelompok masyarakat, itulah yang kita sebut budaya. Budaya tidak melulu berkaitan dengan lagu daerah, baju adat, rumah adat, senjata tradisional, atau gelar-gelar kebangsawanan. Namun budaya bermakna lebih luas. Sebagai ciptaan manusia, budaya menunjukkan bagaimana identitas serta watak masyarakat yang hidup kala itu.

Melalui perspektif budaya, Pram mencoba mengusik bagaimana manusia tetap memiliki relasi dengan budaya. Untuk melihat bagaimana posisi manusia dan bagaimana memberikan posisi pada dirinya. Hubungan manusia dan budaya begitu erat. Sulit untu dipisahkan. Di mana manusia hidup serta berkembang, saat itu pula mereka menciptakan peradabannya. Peradaban yang menjadi ciri kebiasaan, itulah budaya. Mulai dari pemikiran, nilai yang mereka anut, penghormatan kepada dewa, alam, serta manusia itu sendiri, itulah yang disebut budaya.

Pram sangat cerdas membingkai kritiknya dengan menampilkan simbol-simbol dalam budaya masyarakat Jawa. Seperti ketika Gadis Pantai dipaksa menjadi selir Bendoro, santri yang bekerja pada pemerintah Belanda. Pernikahan mereka hanyalah pemanasan bagi Bendoro sebelum menikahi perempuan yang sederajat dengannya. Saat hari pernikahannya tiba, Gadis Pantai dibawa dengan iring-iringan. Ramai. Lengkap dengan bedak tebal menutupi polos wajahnya.

Gadis Pantai menangis dalam perjalanan. Tangisannya menyimpan ketakutan, kehilangan, hingga pengharapan. Banyak hal yang menjadi teka-teki dalam hidupnya. Usianya masihlah 14 tahun ketika menikahi Bendoro. Hari-harinya yang diisi debur ombak langsung berganti dengan suasana gedung besar, sepi dan status sebagai istri pembesar. Namun bagaimana pun status yang ia sandangnya, ia tetaplah seorang gadis miskin yang datang dari pesisir. Terlebih, mereka tak memiliki derajat apa pun dalam masyarakat elite.

Perbedaan derajat juga ditonjolkan dalam tingkah laku Gadis Pantai bersikap pada si Bendoro, suaminya. Suaminya digambarkan sebagai seorang alim, beberapa kali tamat Quran, serta telah dua kali naik haji. Ketika berada dalam satu ruangan dengannya, maka untuk keluar dari ruangan itu, seseorang harus berjalan dengan berjongkok tanpa membalik badan.

Ada yang mengganggu pikiran saya. Bukan tentang apa yang dipikirkan Pram. Namun realita yang ia suguhkan dalam kisah ini. Bagaimana mungkin seorang beragama memperlakukan orang lain sedemikian kejamnya? Bendoro memang tidak digambarkan sebagai pria yang senang main tangan. Namun peliknya hubungan suami-istri lebih terasa ketika banyak hal tak dibagi pada Gadis Pantai. Ia dibiarkan hidup dalam tanda tamya besar. Hingga suatu hari, setelah dua tahun pernikahan mereka, Gadis Pantai menanyakan kabar burung kedekatan suaminya dengan perempuan yang dipilihkan keluarga mereka.

Pantaslah buku yang disebut Pram terdiri dari tiga jilid ini dihilangkan. Jilid kedua dan ketiga, entah di mana rimbanya. Hanya jilid pertama yang sampai ke tangan pembaca hari ini. Kisah Gadis Pantai memang menyinggung banyak pihak. Mereka yang mendahulukan ego individu di atas kemanusiaan, adalah pihak yang harusnya paling mereka. Mereka yang memiliki jabatan, status sosial, merasa hidup di atas awan. Kemiskinan yang dituturkan begitu. Namun mereka yang tetap ingin berkuasa, akan memberangus setiap penentang yang pernah ada.

Cerita buku ini lalu mengalir membedah kemanusiaan yang terenggut. Gadis Pantai. Kisah seorang perempuan yang berasal dari keluarga miskin pesisir yang dipingit oleh bangsawan. Menjadi satu hal membanggakan bagi orang yang biasa-biasa saja kemudian dilirik oleh dia yang punya posisi. Terkuaklah tabir-tabir penindasan kemanusiaan. Bagaimana mereka sesama bangsanya, menindas bangsanya sendiri.

Meski Gadis Pantai bersuamikan 'orang bersar', tinggal di gedung, memiliki pembantu, orang-orang kota tetaplah melihat ia sebagai orang kampung. Label orang kampung bermakna kotor, bodoh, dan kurang beriman. Makna inilah yang seakan dikonstruk kembali oleh Pram untuk memaksa masyarakat modern membuka mata. Benarkah mereka yang dari kampung demikian? Atau justru cap tertentu diberikan kepada mereka atas kepentingan pihak lain. Kepentingan pihak yang ingin langgeng memelihara budak.Hingga kini, masyarakat modern kita tetap saja mengadopsi pemikiran ini. Kolonialis berhasil menanamkan pemikiran itu.

Pram selalu mampu menguak kejahatan sosial budaya pada zaman di mana ia hidup. Kritiknya memang lintas zaman. Di pulau Buru menjadi tempat ia menghasilkan banyak tulisan untuk diselundupkan ke luar negeri. Pram dengan lincahnya mampu meramu sejarah menjadi literatur sastra. Penindasan oleh penjajahan Belanda memang terasa di negeri kita, tapi penindasan oleh bangsa sendiri tak pernah dibenarkan oleh kemanusiaan. Hingga kini, kritik itu masih terasa. Hingga kini, persoalan kemanusiaan masih saja ada. Hingga kini, bangsa sendiri yang menindas rakyatnya.

Lalu apa bedanya kita merdeka dari Belanda namun tetap mengadopsi watak mereka?

***

Jika protes tak lagi di dengar, sastra harus bicara!

0 komentar: