Judul Buku : Gelap Terang Hidup Kartini
Penulis : Tim Buku Tempo
Cover : Paperback1
Halaman : 48 hal
Buku ini awalnya diterbitkan dalam bentuk edisi khusus majalah Tempo edisi 22 - 28 April 2013. Mengambil judul yang sama, Gelap Terang Hidup Kartini mengulas bagaimana kita harus bersikap adil pada sejarah. Opini dengan judul yang sama pun memberikan arahan kepada kita sebagai pembaca agar tidak mengapresiasi sejarah secara berlebihan.
Dalam kutipan bahwa Kartini mati muda, gagasannya mencerahkan dan mengilhami, meninggalkan ratusan surat, hingga menelusuri hidupnya sampai Deen Hag, Belanda, membuat saya berkerut kening.
Penulis : Tim Buku Tempo
Cover : Paperback1
Halaman : 48 hal
Published
June 2013
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
ISBN : 139789799105912
Edisi : Bahasa Indonesia
***
Buku ini awalnya diterbitkan dalam bentuk edisi khusus majalah Tempo edisi 22 - 28 April 2013. Mengambil judul yang sama, Gelap Terang Hidup Kartini mengulas bagaimana kita harus bersikap adil pada sejarah. Opini dengan judul yang sama pun memberikan arahan kepada kita sebagai pembaca agar tidak mengapresiasi sejarah secara berlebihan.
Dalam kutipan bahwa Kartini mati muda, gagasannya mencerahkan dan mengilhami, meninggalkan ratusan surat, hingga menelusuri hidupnya sampai Deen Hag, Belanda, membuat saya berkerut kening.
Diperhadapkan pada sebuah
fakta sejarah, Kartini adalah pejuang emansipasi bagi perempuan.
Suaranya di dengar. Hari kelahirannya diperingati secara besar-besaran.
Media mengenakan kebaya, sebagai lambang pakaian adat yang dikenakan
kartini. Menyisir rambut mereka dengan sanggul.
Lahir di keluarga
bangsawan, ayahnya seorang Bupati Jepara. Di usia muda, menikah dengan
seorang duda, Bupati Rembang. Kebimbangan menerpa hidup perempuan muda
ini. Ia diperhadapkan pada kebimbangan memilih untuk mengembangkan
dirinya, atau belajar.
Menilai sisi hidup Kartini, bukankah kita tidak bisa menerjemahkannya lurus-lurus saja? Melalui surat-suratnya yang diterbitkan, sejumlah tanya memang hadir darinya tentang konsep budaya yang menindas kesempatan setiap orang untuk belajar. Itu baik. Namun, mengapa harus belajar pada Belanda, di Eropa? Kartini bahkan dijanjikan untuk bersekolah di sana. Meski hingga hayat, itu tak kesampaian.
Era kolonialisme menjadi tahun yang memberikan pelajaran banyak bagi penindasan manusia. Penjajah datang dengan menjarah. Memasang wajah baik, menerapkan politik etis sebagai bentuk balas budi, namun itu tidaklah cukup. Pendidikan yang diberikannya tidak merata. Mereka malah kaget ketika banyak anak muda di jajahan Hindia Belanda yang berteriak lantang. Kesadaran mereka bangkit. Mereka menyadari bahwa apa yang dilakukan pemerintahan kolonial masa lalu adalah penindasan.
Mengapa harus Kartini? Sebagai bentuk balas budi, pihak kolonial mengiming-imingi banyak pelajar untuk sekolah di negeri Belanda. Untuk apa? agar mereka tidak menjadi senjata dalam selimut yang menikam dari dalam.
Sejarah Indonesia yang kokoh dengan bentuk kerajaan di masa lalu, hidup bergelimang perang. Mereka habis-habisan bertempur melawan Penjajah Belanda. Setiap perempuan dari berbagai kerajaan di nusantara, terlahir dengan takdir untuk melawan penjajahan bagi rakyatnya.
Namun feodalisme jawa yang kental di masa lalu memberi angin segar pihak penjajah. Kartini dimanfaatkan. Perempuan seperti Cut Nyak Dien, Laksamana Malahayati, Dewi Sartika, Emmy Saelan, dan lainnya tidak mendapat porsi penghormatan seperti Kartini. Mengapa? Karena mereka adalah mengangkat senjata.
Memang sempat terjadi perdebatan ketika hari lahir Kartini harus diperingati termasuk pengangkatannya menjadi pahlawan. Sejarah itu harus objektif, mengajarkan kita bahwa masa lalu adalah waktu terbaik untuk belajar kearifan.
Menilai sisi hidup Kartini, bukankah kita tidak bisa menerjemahkannya lurus-lurus saja? Melalui surat-suratnya yang diterbitkan, sejumlah tanya memang hadir darinya tentang konsep budaya yang menindas kesempatan setiap orang untuk belajar. Itu baik. Namun, mengapa harus belajar pada Belanda, di Eropa? Kartini bahkan dijanjikan untuk bersekolah di sana. Meski hingga hayat, itu tak kesampaian.
Era kolonialisme menjadi tahun yang memberikan pelajaran banyak bagi penindasan manusia. Penjajah datang dengan menjarah. Memasang wajah baik, menerapkan politik etis sebagai bentuk balas budi, namun itu tidaklah cukup. Pendidikan yang diberikannya tidak merata. Mereka malah kaget ketika banyak anak muda di jajahan Hindia Belanda yang berteriak lantang. Kesadaran mereka bangkit. Mereka menyadari bahwa apa yang dilakukan pemerintahan kolonial masa lalu adalah penindasan.
Mengapa harus Kartini? Sebagai bentuk balas budi, pihak kolonial mengiming-imingi banyak pelajar untuk sekolah di negeri Belanda. Untuk apa? agar mereka tidak menjadi senjata dalam selimut yang menikam dari dalam.
Sejarah Indonesia yang kokoh dengan bentuk kerajaan di masa lalu, hidup bergelimang perang. Mereka habis-habisan bertempur melawan Penjajah Belanda. Setiap perempuan dari berbagai kerajaan di nusantara, terlahir dengan takdir untuk melawan penjajahan bagi rakyatnya.
Namun feodalisme jawa yang kental di masa lalu memberi angin segar pihak penjajah. Kartini dimanfaatkan. Perempuan seperti Cut Nyak Dien, Laksamana Malahayati, Dewi Sartika, Emmy Saelan, dan lainnya tidak mendapat porsi penghormatan seperti Kartini. Mengapa? Karena mereka adalah mengangkat senjata.
Memang sempat terjadi perdebatan ketika hari lahir Kartini harus diperingati termasuk pengangkatannya menjadi pahlawan. Sejarah itu harus objektif, mengajarkan kita bahwa masa lalu adalah waktu terbaik untuk belajar kearifan.
Pada beberapa bagian di buku ini, saya sepakat. Bahkan ketika disebut Kartini memberontak terhadap feodalisme, poligami, dan adat-istiadat yang mengungkung perempuan, secara logis saya masih sepakat. Sistem feodal masa lalu yang hadir khusus untuk menindas perempuan mengingatkan kita pada kisah Minke dan Nyai Ontosoroh dalam karya Bumi Manusia milik Pram.
Namun saat Kartini baru bermimpi, saat Kartini baru menuliskan surat-surat yang sebagiannya isinya tak ditampilkan, pejuang perempuan dari daerah lain di Indonesia tidak digubris sebesar perhatian pada Kartini.
Namun saat Kartini baru bermimpi, saat Kartini baru menuliskan surat-surat yang sebagiannya isinya tak ditampilkan, pejuang perempuan dari daerah lain di Indonesia tidak digubris sebesar perhatian pada Kartini.
2 komentar:
Membicarakan Kartini memang tidak ada habisnya. Perlu banyak referensi dari berbagai sumber, dalam maupun luar negeri, untuk mengerti pemikiran utuh seorang Kartini. Nice share, sis. Salam kenal.
Sama-sama, terimakasih :)
Posting Komentar