Selasa, 13 Mei 2014

Demi God

BY Unknown IN , , No comments

Judul : Demi God
Penulis : Bahar Azwar
Format : Paperback 
Jumlah Halaman : 256
Tahun Terbit :  May 2005
Penerbit : Gagas Media
ISBN : 979360073X

***

Saya lupa kapan tepatnya saya membaca buku ini. Seingat saya, buku ini saya dapatkan di tumpukan buku-buku discount di sebuah toko buku di Makassar. Awalnya, saya menganggap bahwa buku ini seperti buku fantasi sejarah yang lebih banyak berisi mitos.. Melihat sampul buku, saya siap untuk diajak bertualang ke masa silam. Gambaran di kepala saya, peperangan, perkelahian, pemberontakan akan mengiasi isi buku. Saat pertama kali membukanya, saya salah.  

Sampul belakang buku menyatakan seperti ini:
 
AHLI bedah adalah demigod. Titisan dewata ini diutus Penguasa Semesta Alam turun ke dunia sebagai penyebab kesembuhan. Bersenjatakan sebuah pisau penyembuh, Ropanasuri, ia malang melintang di arena berdarah melawan penyakit, dalam drama yang sudah dimainkan sejak dunia terkembang. Tragedi kadang tak terhindarkan tatkala kuasa terasa mutlak, tawaduk menjadi ria, rasio tercemar dengan rasa serta iringan nyanyian syaitan menyerukan Engkaulah Tuhan. Di saat itu pula ksatria tergelincir menjadi paria

Halaman demi halaman dari buku ini memang berisi peperangan, perkelahian, hingga pemberontakan. Namun ini sesuatu yang menjadi konflik para tokoh. Bukan perkelahian sesuangguhnya di atas tanah. Sesuatu yang lebih sulit, merasuk pada pemikiran mereka. Ini adalah sebuah bacaan bergenre science fiction. Dikemas dengan latar belakang dunia medis lengkap dengan seluk-beluk rumah sakit, profesi kedokteran, hingga kepanikan di ruang operasi. Menulisnya membutuhan riset yang bisa mengakses beberapa informasi rahasia tertentu.

Kehebatan sosok doktek bedah yang sering saya nonton di layar kaca menjadi kisah menegangkan di buku ini. Kita disuguhi pandangan lain tentang profesi dokter. Jika kalian pernah menonton film Good Doctor dari Korea Selatan, informasi ruang bedah juga dibahas dalam buku ini. Namun film tersebut dan buku ini berkisah dalam sudut pandang yang berbeda.

Seperti yang disampaikan oleh uraian singkat buku ini, Demigod diutus kedunia untuk membawa kesembuhan. Meski sebenarnya, bukan Demigod atau ahli bedah itu sendiri yang menyebabkan kesembuhan. Ada yang lebih pantas menyembuhkan yang memberikannya kepada Demigod.

Fiksi ini menawarkan angin segar bagi mereka yang ingin berpikir. Bab demi bab memang membawa kita bertualang hingga banyak rumah sakit di Indonesia. Ternyata, setiap rumah sakit di setiap daerah memiliki keterkaitan.

Meski kisah fiksi, nampak nyata penulisnya melakukan riset mendalam. Sisi psikologis seorang dokter yang melakukan malpraktik juga ditampakkan di sini. Sesungguhnya, malpraktik menjadi pesan lain yang tak nampak di sini. Kita sebagai pasien, hanya tahu bagaimana profesi dokter melakukan tindakan medis tanpa pernah berkompromi dengan pasiennya terlebih dahulu. Novel ini juga menguraikan bagaimana sesama profesi dokter akan saling melindungi dalam dunia keprofesian hingga ranah hukum ketika ada yang melakukan kesalahan di dalam ruang operasi.

Petualangan ini seperti nyata dan memiliki sejarah masa lalu. Ada mitos yang berkembang bagi profesi ini di dunia nyata, ahli bedah. Melalui buku ini, penulis seperti ingin menyampaikan bahwa terkadang kita terlalu berharap pada orang yang sebenarnya sama terbatasnya dengan kita. Mengingatkan agar tidak lupa sebagai orang yang dititipi pengetahuan. Bukan yang mengendalikan pengetahuan itu.

Lalu, masihkah anda menganggap bahwa ahli bedah adalah dewa?
 
selamat membaca.
selamat bertemu di ruang operasi

Minggu, 04 Mei 2014

Pahlawan-pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik

BY Unknown IN , , , No comments

Judul Buku : Pahlawan-pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik
Penulis : Saya Sasaki Shiraishi
Format :Paperback 
Jumlah Halaman : 11
Publikasi : January 2014
Penerbit :Komodo Books
ISBN : 9786029137
Edisi : Bahasa Indonesia
 
***
 
Jika orang tua kita hidup di masa pemerintahan orde baru, masa pemerintahan Soeharto sebagai presiden ke-2 Indonesia, dan membandingkannya dengan masa pemerintahan presiden-presiden setelahnya, maka sebagian dari mereka akan mengatakan bahwa era Soeharto lebih enak. Entah apa yang menjadi indikator mengapa mereka mengatakan enak.

Saya Sasaki Shiraishi memberikan penyajian fakta etnografis yang berbeda. Shiraishi membuka pendahuluan buku ini dengan menghubungkan konsep keluarga di Indonesia dengan pemerintahan Soeharto. Persepsi mantan penguasa 32 tahun di Indonesia itu tentang para pengawal, menteri, ajudan, atau pembantu-pembantu dekatnya disebut 'anak' oleh Soeharto. Dan sebaliknya, Soeharto akan disebut 'bapak' (Supreme Father) oleh 'anak-anaknya'.

Konsep keluarga yang dijelaskan oleh Shiraishi dalam buku ini adalah keluarga dalam arti hierarki. Dengan menganggap diri sebagai bapak, Soeharto menciptakan makna sebagai orang yang berkuasa atas anak-anaknya dan wajib untuk dipatuhi. Apa pun yang dikatakan oleh Soeharto, wajib untuk diikuti. 'Anak-anak' Soeharto kemudian dididik menggunakan prinsip kepemimpinan ABRI yang sekarang disebut TNI, yaitu Tut Wuri Handayani.

Tut Wuri Handayani yang diadopsi dari Ki Hajar Dewantara coba untuk ditafsirkan lain oleh Soeharto. Arti semboyan ini sebenarnya mengarah pada kebebasan setiap orang untuk mengembangkan diri namun ditafsirkan lain oleh Soeharto demi mewujudkan 'penertiban melalui penguasaan dan paksaan'. Beberapa prinsip pokok ajaran Ki Hajar Dewantara diperkenalkan oleh Soeharto untuk melembagakannya dalam sistem pendidikan 'benar' untuk diterapkan.

Dari kata 'keluarga' yang terdiri dari orang tua, kakek-nenek, kakak, adik, serta keluarga hingga kenalan menegaskan makna relasi kuasa. Bapak sebagai kepala keluarga disebut sebagai orang yang memiliki kuasa lebih besar. Konsep kuasa yang dilekatkan pada bapak dalam keluarga di Indonesia mengacu pada konsep bapak orde baru yang diinginkan Soeharto.

Hubungan dalam keluarga kemudian ditafsirkan sebagai relasi yang harus dipatuhi, ditaati, diikuti, sebagaimana model kepemimpinan ABRI atau TNI. Ini sangat jelas mengapa digunakan, untuk mewujudkan sesuatu yang tertib, dibutuhkan suatu paksaan.

Begitu pula di sekolah. Mengapa kita harus taat dan patuh pada Ibu/Bapak Guru di sekolah, yah...karena mengadopsi sistem ini. Jika kita mau merenung sejenak, yang harus dipikirkan, mengapa dalam konsep pendidikan kita patuh dan taat? Sebenarnya kepatuhan dan ketaatan kita untuk siapa?

Untuk apa para guru di sekolah membutuhkan kepatuhan kita? Kita harus mendefinisikan arti sekolah yang sesungguhnya. Jika sekolah hadir untuk mencetak manusia seragam, maka sistem komando itu dibutuhkan. Namun jika sekolah hadir untuk melahirkan manusia yang cerdas maka sistem komando tidak tepat digunakan.

Namun, inilah yang hadir hari ini di Indonesia. Empat generasi presiden yang memimpin Indonesia tak ubahnya Soeharto dalam hal pendidikan. Konsep Bapak/Ibu masih juga digunakan dalam arti perintah. Sekolah seperti sebuah cetakan besar untuk menghasilkan manusia pesuruh. Haruskah kita berhenti atau menarik diri dari sekolah?

Jika 'anak' melawan 'bapak', Shiraishi tak lupa pula menjelaskan bagaimana mahasiswa pada zaman itu diculik, disekap, dibunuh, hingga dimutilasi oleh rezim pemerintahan Soeharto karena mereka angkat bicara

Bahasa nasional membuat kaum muda menjadi bisu. Mereka digambarkan menjadi generasi bungkam yang tak tahu mengungkap pengekangan pada mereka. Bahasa nasional disebut tidak memilikinakar hanya karena sebagai bahasa perantara saja.

Soeharto memang dikenal memerintah dengan tangan dingin. Suara dibungkam, pelarangan karya Pramoedya Ananta Toer salah satunya menjadi contoh karya yang dilarang beredar oleh 'bapak'.

Mungkin, orangtua kita tidak sadar atas praktek sistemik yang diwariskan oleh rezim orde baru. Yang mereka tahu, hidup mereka sejahtera padahal tersiksa.

"Coba kecam raja-rajamu, belum habis kata-katamu berakhir menggeletat kau sudah akan roboh terkena mata pedang..."
(Pramoedya Ananta Toer

Jumat, 02 Mei 2014

Galaksi Kinanthi

BY Unknown IN , , No comments

Judul : Galaksi Kinanthi: Sekali Mencintai Sudah itu Mati?
Penulis : Tasaro GK
Format : Paperback 
Halaman : 432 pages
Tahun terbit : Januari 2009
Penerbit : Salamadani
ISBN : 9789791803595
Edisi : Bahasa Indonesia
Penghargaan : Anugerah Pena for Fiksi Terpuji (2009)
*** 

Saya sempat hapal mantra paling wajib dalam untaian kalimat yang berhasil membuat banyak pembaca bergetar.
Begini cara kerja sesuatu yang kau sebut cinta. Engkau bertemu seseorang, lalu perlahan-lahan merasa nyaman berada di sekitarnya. Jika dia dekat, engkau akan merasa utuh, dan terbelah ketika dia menjauh
Tasaro GK memang pandai meramu kata. Kekuatan riset yang mendukung juga menjadi nyawa dari karya ini. Tema tulisannya tak jauh dari perempuan. Lebih tepatnya menyorot kisah tenaga kerja perempuan yang bekerja di luar negeri. Beberapa di antara mereka mendapatkan hidup layak. Beberapa di antara mereka pula harus merasakan pahirnya hidup di negeri orang.

Sesuai judulnya, nama tokoh utama dalam novel ini adalah Kinanthi. Seorang perempuan yang dibesarkan di desa. Ketika menginjak remaja, orang tuanya menukar Kinanthi dengan beras. Ajuj, sahabatnya, harus merelakan bagaimana Kinanthi pergi dari hidupnya. Kinanthi, gadis kecil yang tumbuh deiring tempaan waktu tetap menyimpan rasa rindu pada Ajuj, sekaligus benci.

Awalnya saya lupa, bagaimana perempuan dituliskan dalam kisah ini. Kepiawaian Tasaro membuat saya terlena bahwa kisah Kinanthi sesungguhnya tidak dituliskan dalam sudut pandang seorang perempuan. Ia dituliskan dalam sudut pandang lelaki. Benarkah lelaki memandang perempuan lebih banyak sebagai objek eksploitasi?

Tidak untuk menuntut sebenarnya, namun menurut saya ada cara pandang melihat perempuan yang sulit ditafsirkan. Begitu saja, mengalir. Padahal, banyak muatan psikologi di novel ini yang bagus untuk diapresiasi kembali.

Realita perempuan yang digambarkan adalah fakta yang terjadi di belahan bumi manapun. Diskriminasi hingga perdagangan manusia adalah tema yang mewarnai sebagian besar isi buku..

Melalui gambaran kisah Kinanthi dan Ajuj, kita diajak bertualang melihat budaya timur dan barat berpengaruh terhadap kehidupan manusia, khususnya masyarakt desa. Bagaimana kehidupan sosial mengubah banyak orang. Tentang peristiwa masa lalu dan yang digeluti kini oleh manusia modern tak pernah lepas dari masa lalunya. Sebenarnya, saya menyimpan sebuah ketakutan ketika membaca buku ini di awal. Semoga akhir buku ini tidak menyimpulkan bahwa seorang perempuan yang baik adalah mereka yang sukses dalam karir.

Bercermin pada perjalanan Kinanthi, hidup memberikannya makna dengan cara yang harus dilaluinya. Hidup Kinanthi tak mulus. Ia harus merasakan bagaimana dikirim menjadi seorang tenaga kerja ilegal ke Saudi Arabia. Di saat yang sama, Tasaro mempertontonkan dengan gamblang bagaimana Saudi seharusnya tidak menjadi tujuan kita mengirimkan tenaga kerja. Beberapa di antara mereka diperlakukan selayaknya binatang. Mungkinkah kemanusiaan dilelang di tanah suci kelahiran Baginda Nabi?

Kritik pada banyak kalangan begitu mengena dari narasi milik Tasaro. Kritik paling tajam diarahkan pada pemerintah yang harus mengeluarkan regulasi tentang keamanan TKI khususnya perempuan. Berada jauh dari rumah membuat semua kemungkinan buruk bisa terjadi. Pemerintah punya PR besar ketika sejumlah kasus tentang pekerja migran bergaung di media.

Tahun 2014 saja bahkan telah dibuka dengan kisah Satinah, tenaga kerja yang terancam dihukum mati. Mesti kasusnya telah lama bergulir, barulah pada detik-detik terakhir tenggat pembayaran denda baginya mencuat di media nasional kita. Ini emperlihatkan bagaimana pemerintah tidak serius menanggapi isu ini. Selain itu, kita memang lemah pada sisi payung hukum. Cerita ini menurut penulisnya bukan rekaan semata. Ini diangkat dari kisah nyata.