Senin, 15 September 2014

Resensi Buku Madre - Dewi Lestari

BY Unknown IN , , , , , , , , No comments

Cover Buku Madre

 Judul : Madre
Penulis: Dewi Lestari
ISBN : 9786028811491
Rilis : 2011
Halaman : 162
Penerbit: Bentang
Edisi: Cetakan kedua




***

Cover bukunya menarik, berwarna orange tua dengan latar sketsa klasik. Sehangat sampulnya, isinya pun adalah sajian hangat. Pertama kali melahap kehangatannya di tahun 2011, saat diterbitkan pertama kali. Selanjutnya, untuk kesekian kalinya yang tak bisa terhitung, seluruh bab demi bab habis dicerna.

Buku ini renyah, lembut, sekaligus menggigit. Madre tak habisnya menyuguhkan cerita serta puisi yang seolah biasa namun luar biasa. Madre menjadi kumpulan tulisan Dee Lestari yang begitu kaya. Terdiri dari 13 fiksi dan prosa pendek.

Cerita pendek tersebut terdiri dari Madre, Have You Ever, Semangkuk Acara Untuk Cinta dan Tuhan, Guruji, dan Menunggu Layang-Layang. Sebagai cerpen pembuka sekaligus judul buku, Madre seperti merampungkan banyak hal dari dialektika pemikan Dee. Ia seorang penulis cerdas, melakukan pencarian hidup, menemukan tujuan, dan mengambil maknanya. Setiap cerpen begitu berwarna, begitu pula pada prosa serta puisinya. Ada pelangi di setiap karya Ibu Suri, sebutan dari penggemarnya.

Kisah Madre, misalnya. Ia sadar bahwa keanekaragaman adalah sesuatu yang niscaya. Kita pasti berbeda. Warna kulit, rambut, asal keturunan, postur tubuh, serta apa yang kita pikirkan. Dee dengan cerdasnya menangkap hal berbeda itu dan membingkainya pada kehidupan seorang Tansen Wuisan. Keturunan India yang kemudian sadar bahwa dalam tubuhnya mengalir darah seperempat Tionghoa. Menarik bukan? Hanya itu yang dikisahkan Dee? Tentu tidak.

Ibu dari Keenan dan Atisha ini juga memiliki ciri khas dalam karyanya. Ia menjunjung tinggi satu hal yang disebut kemanusiaan. Dan sikap itu ia tuangkan bagaimana ia menjaga banyak hal secara manusiawi. Ini bisa kita simak ketika ia menceritakan bahwa biang roti diperlakukan secara manusiawi.

".... Madre mesti dirawat orang muda yang semangatnya baru .... " hal. 7, Madre.

Pada bagian lain malah disebutkan bahwa Madre menjadi warisan.

".... Namun Madre hanya bisa ia turunkan pada seseorang yang punya hubungan langsung ...." hal. 13, Madre.

Juga sapaan yang diberikan pada Madre untuk menunjukkan bagaimana harusnya memperlakukan ia.

".... Sebelum menutup pintunya, Bu Cory sempat-sempatnya berkata, Selamat Istirahat Madre." hal. 41, Madre

Usaha, kerja keras, menyelesaikan konflik, adalah keahlian lain Dee. Dibalik upayanya, ia tak lupa menyisipkan sisi spiritual pada setiap karyanya. Ini terlihat dari berbagai kontemplasi setiap tokoh. Metamorfosis mereka terbangun pada karakter tokoh. Ini menunjukkan bahwa Dee juga mengalami transformasi bersama para tokohnya.

Selamat membaca Madre, selamat mengalami perubahan diri.

Ibuk

BY Unknown No comments

Judul : Ibuk
Penulis : Iwan Setyawan
Kategori : Fiksi Sastra
Ukuran : 13.5 x 20 cm
Tebal : 312 halaman
Terbit : Juni 2012
Cover : Softcover
ISBN : 978-979-22-8568-0
No Produk : 20101120027

*

Jika harus merayakan bulan September, sebaiknya menengok buku Ibuk. Mengapa? Sebenarnya tidak ada hari khusus untuk mengenang kisah patriotisme seorang Ibu. Namun tetap mengabadikannya membuat novel ini layak untuk diberi apresiasi.

Setting cerita adalah kehidupan keluarga yang memulai perjuangannya dari ekonomi bawah. Iwan membuka kisahnya dengan romantika jatuh cinta antara Ayah dan Ibunya. Ini berangkat dari kisah nyata. Namun sebagai sebuah novel, terkadang pembaca jarang melakukan eksplorasi di sisi mana saja terdapat hal fiktif.

"Cinta membutuhkan keberanian untuk membuka pintu hati," Iwan Setyawan.

Alur novel ini berbalut drama. Pertunjukan yang disajikan dari panggung rumah tangga seorang perempuan bernama Tinah dan lelaki playboy bernama Tim. Mereka bersatu dalam ikatan suci, pernikahan. Mereka berdua tidak berasal dari keturunan yang diberi harta berlimpah. Tapi kebahagiaan melimpah dalam keluarga mereka.

Sisi yang diceritakan lebih banyak dari sisi Ibu, seperti judulnya, Ibuk. Kacamata melihat perjuangannya seperti dituturkan dengan kekaguman seorang balita pada ibunya. Bisa membayangkan bagaimana balita begitu bergantung pada Ibunya?

Balita ini lalu tumbuh seperti tanaman dari hari ke hari. Ia mekar bersama dengan kehidupan yang tidak seimbang. Jika boleh, hidup mereka bisa disebut melarat. Namun jangan salah, usaha keras sang Ayah dan kegigihan Ibu, mereka bisa melalui badai besar sekalipun.

Potret Cinta dalam Keluarga di Masyarakat Desa Indonesia

Potret kehidupan sehari-hari masyarakat desa di Indonesia digambarkan dengan detail dalam buku ini. Sepertinya penulis mengisahkannya langsung dari pengalaman yang dilaluinya. Seperti kebiasaan bangun pagi atau hal detail yang dilakukan seorang Ibu. Kecermatan, ketelitian, serta kasih sayangnya seolah terbagi sama rata.

Itulah cinta. Rasa yang dibangun dengan pondasi hampir di setiap penjuru desa di Indonesia. Kehidupan mereka beradab, arif, lagi bijaksana. Desa terbangun dengan keramahan penduduknya. Mengapa? Karena setiap keluarga menjunjung belas kasih, kasih sayang, toleransi yang tinggi.

"Cintanya, terbisikkan lewat nasi goreng terasi. Lewat tatapan mata yang syahdu. Lewat daster batik usangnya. Ah, begitu perkasa. Lima buah hati di tangan satu perempuan yang penuh cinta dan ketulusan," -Hal.42, Ibuk - Iwan Setyawan.

Apa yang bisa kalian tangkap dari kalimatnya? Iwan mencoba untuk menyederhanakan sesuatu yang spektakuler yang mampu dilakukan seorang perempuan. Terkadang, kita sering membandingkan kemampuan diri dengan yang dilakukan orang lain. Iwan berhasil melakukan itu. Ia memandang kemampuan seorang Ibu mendidik lima orang anak adalah perbuatan luar biasa.

Ini bisa mengingatkan kita pada pepatah bahwa Ibu sanggup mendidik seribu pemimpin. Iya kan? Hal lain yang patut kita renungkan, bagaimana seorang anak mampu merawat satu orang Ibu? Iwan lupa memberikan deskripsinya. Atau kisahnya hanya eksis pada hidup patriotiknya. Jika hidupnya usai, usai juga kisahnya.

Jika Iwan mengangkat sisi perjuangannya yang bertanggung jawab sebagai anak, mengapa Iwan tidak menuliskan bagaimana caranya ia harus mengenang Ibunya. Ia banting tulang sebagai bentuk perjuangannya memberi yang terbaik pada Ibu dan saudaranya. Membangun kembali rumah mereka yang penuh sejarah di desa. Tapi mengapa Iwan mengeksplorasi bagaimana setiap Ibu ingin dikenang? Para Ibu adalah pahlawan sebenarnya, bukan seorang yang hanya sekedar menjadi tempat pulang.