Judul : Ibuk
Penulis : Iwan Setyawan
Kategori : Fiksi Sastra
Ukuran : 13.5 x 20 cm
Tebal : 312 halaman
Terbit : Juni 2012
Cover : Softcover
ISBN : 978-979-22-8568-0
No Produk : 20101120027
*
Jika harus merayakan bulan September, sebaiknya menengok buku Ibuk. Mengapa? Sebenarnya tidak ada hari khusus untuk mengenang kisah patriotisme seorang Ibu. Namun tetap mengabadikannya membuat novel ini layak untuk diberi apresiasi.
Setting cerita adalah kehidupan keluarga yang memulai perjuangannya dari ekonomi bawah. Iwan membuka kisahnya dengan romantika jatuh cinta antara Ayah dan Ibunya. Ini berangkat dari kisah nyata. Namun sebagai sebuah novel, terkadang pembaca jarang melakukan eksplorasi di sisi mana saja terdapat hal fiktif.
"Cinta membutuhkan keberanian untuk membuka pintu hati," Iwan Setyawan.
Alur novel ini berbalut drama. Pertunjukan yang disajikan dari panggung rumah tangga seorang perempuan bernama Tinah dan lelaki playboy bernama Tim. Mereka bersatu dalam ikatan suci, pernikahan. Mereka berdua tidak berasal dari keturunan yang diberi harta berlimpah. Tapi kebahagiaan melimpah dalam keluarga mereka.
Sisi yang diceritakan lebih banyak dari sisi Ibu, seperti judulnya, Ibuk. Kacamata melihat perjuangannya seperti dituturkan dengan kekaguman seorang balita pada ibunya. Bisa membayangkan bagaimana balita begitu bergantung pada Ibunya?
Balita ini lalu tumbuh seperti tanaman dari hari ke hari. Ia mekar bersama dengan kehidupan yang tidak seimbang. Jika boleh, hidup mereka bisa disebut melarat. Namun jangan salah, usaha keras sang Ayah dan kegigihan Ibu, mereka bisa melalui badai besar sekalipun.
Potret Cinta dalam Keluarga di Masyarakat Desa Indonesia
Potret kehidupan sehari-hari masyarakat desa di Indonesia digambarkan dengan detail dalam buku ini. Sepertinya penulis mengisahkannya langsung dari pengalaman yang dilaluinya. Seperti kebiasaan bangun pagi atau hal detail yang dilakukan seorang Ibu. Kecermatan, ketelitian, serta kasih sayangnya seolah terbagi sama rata.
Itulah cinta. Rasa yang dibangun dengan pondasi hampir di setiap penjuru desa di Indonesia. Kehidupan mereka beradab, arif, lagi bijaksana. Desa terbangun dengan keramahan penduduknya. Mengapa? Karena setiap keluarga menjunjung belas kasih, kasih sayang, toleransi yang tinggi.
"Cintanya, terbisikkan lewat nasi goreng terasi. Lewat tatapan mata yang syahdu. Lewat daster batik usangnya. Ah, begitu perkasa. Lima buah hati di tangan satu perempuan yang penuh cinta dan ketulusan," -Hal.42, Ibuk - Iwan Setyawan.
Apa yang bisa kalian tangkap dari kalimatnya? Iwan mencoba untuk menyederhanakan sesuatu yang spektakuler yang mampu dilakukan seorang perempuan. Terkadang, kita sering membandingkan kemampuan diri dengan yang dilakukan orang lain. Iwan berhasil melakukan itu. Ia memandang kemampuan seorang Ibu mendidik lima orang anak adalah perbuatan luar biasa.
Ini bisa mengingatkan kita pada pepatah bahwa Ibu sanggup mendidik seribu pemimpin. Iya kan? Hal lain yang patut kita renungkan, bagaimana seorang anak mampu merawat satu orang Ibu? Iwan lupa memberikan deskripsinya. Atau kisahnya hanya eksis pada hidup patriotiknya. Jika hidupnya usai, usai juga kisahnya.
Jika Iwan mengangkat sisi perjuangannya yang bertanggung jawab sebagai anak, mengapa Iwan tidak menuliskan bagaimana caranya ia harus mengenang Ibunya. Ia banting tulang sebagai bentuk perjuangannya memberi yang terbaik pada Ibu dan saudaranya. Membangun kembali rumah mereka yang penuh sejarah di desa. Tapi mengapa Iwan mengeksplorasi bagaimana setiap Ibu ingin dikenang? Para Ibu adalah pahlawan sebenarnya, bukan seorang yang hanya sekedar menjadi tempat pulang.
0 komentar:
Posting Komentar