Seorang pria dengan stetoskop di tangan terlihat menendang perempuan lusuh. Dengan ekspresi marah, ia mengusir perempuan itu. Kain lusuh yang ditambal sana sini digunakan untuk menutupi badan perempuan itu. Ini bukan sekedar cerita, tapi ini adalah ilustrasi realitas yang akan dipaparkan Eko Prasetyo dalam bukunya Orang Miskin Dilarang Sakit.
Eko Prasetyo salah satu penulis favorit saya. Ia berhasil mempertahankan idealismenya ketika masih mahasiswa dulu hingga saat ia membangun rumah tangga. Pikiran-pikirannya banyak dituangkan dalam buku. Kalimat-kalimatnya tajam. Paragraf yang terbangun juga sangat kritis. Tidak salah kalau pembelajar sepanjang masa ini adalah penyampai kisah-kisah pelik masyarakat bawah.
Melalui buku Orang Miskin Dilarang Sakit, Mas Eko menyampaikan dengan sederhana bagaimana kesehatan di negeri ini menjadi menjadi sebuah komiditi, bahan jualan. Produk kesehatan seperti obat, dokter, rumah sakit, adalah bagian-bagian kecil dalam sistem perusahaan kesehatan.
Mengapa orang miskin dilarang sakit?
Sebab biaya berobat itu sangat mahal. Rumah sakit dengan fasilitas bagus hanya bisa diakses oleh kalangan jetset saja. Padahal yang menghuni negara ini dari berbagai kalangan. Selain itu, peran negara dalam pelaksanaan jaminan kesehatan masih minim.
Bagaimana sinergi buku yang ditulis tahun 2004 ini masih bisa dikondisikan di tahun 2015? Sangat bisa. Dunia kesehatan yang hari ini disulap berwajah industri masih seperti sebelas tahun silam saat Eko menulis bukunya. Jaring-jaring mafia penjual obat, rumah sakit yang seolah-olah menyembunyikan obat bagi pemegang jaminan kesehatan tingkat bawah, perilaku dokter-dokter parlente, pelayanan rumah sakit, mal praktik, dan sejumlah persoalan kesehatan lainnya, masih sama.
Tidak usah heran dengan apa yang ditulis Bang Eko. Cukup terperangah saja. Pun jika tak percaya, cobalah sesekali menjadi orang miskin, merasakan hidup mereka.