Senin, 08 Desember 2014

Review Filosofi Kopi

BY Unknown No comments

Cover
Judul Buku : Filosofi Kopi
Penulis : Dewi Lestari
Genre : Fiksi
Cover : Paperback 
Hal134 pages
Tahun terbit : 2007 by Truedee Books, Gagas Media (first published 2006) 
 
Original title
Filosofi Kopi: Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade
ISBN : 9799625734
ISBN13: 9789799625731
Edisi Bahasa : Indonesia

FILOSOFI KOPI Temukan diri anda di sini. Adalah kumpulan cerpen dari Ibu Suri Dee Lestari yang membuat saya pertama kali bisa minum kopi. Saya tertarik dengan caranya meramu setiap cerita dan prosa lalu disajikannya dalam sebuah buku.

Anak kandung Dee yang satu ini menyuguhkan delapan belas judul ciamik yang sayang untuk dicicipi. Filosofi kopi adalah salah satu cerita dalam kumpulan tulisan ini. Mengisahkan dua orang anak muda, Ben dan Jody, yang membangun bisnis kedai kopi. Awalnya nama kedai mereka adalah Kedai Koffie BEN & JODY. Lambat laut, kedai itu berganti nama menjadi FILOSOFI KOPI.

Sosok tokoh, karakter, juga latar dalam cerita ini perpaduan menarik kehidupan manusia urban. Mereka yang menjalani segala sesuatu dengan sangat mekanik, tertarik melakukan yang mereka sukai, tanpa pernah menemukan makna. Ya, cerita ini mengantar kita dalam menemukan makna rutinitas dan pelabelan diri berlebih yang sering kita sematkan pada diri sendiri. Melalui kisah Ben dan Jody, Dee mengajak kita untuk bercermin. Caranya?

Penulis yang baik merupakan penulis yang membuat kita merefleksikan hidup dalam karyanya. Dan Ibu suri Dee telah melulusi semua ujian itu. Ben, sosok barista yang memberikan makna pada setiap kopi yang dibuatnya diperhadapkan pada seorang pengunjung yang menginginkan kopi sempurna. Sempurna? Aduh, kedengarannya sulit untuk menemukannya. Namun Ben yang menjawab kalau kopi sempurna itu tak ada, hanya yang mendekati makna sempurna, membuat pelanggan itu menantang Ben. Lalu tantangan itu diterimanya. Dengan imbalan Rp. 50 juta yang juga membuat biru mata Jody, partner bisnis sekaligus sahabatnya yang hanya peduli pada profit, kopi terenak di dunia pun lahir.

Tak hanya sampai di situ saja. Jika memang mereka mampu membuat kopi yang sempurna, seperti kebanyakan dari kita mengklaim hasil kerja kita sebagai yang terbaik, Ben akhirnya terpukul. Ben's Perfecto, nama kopi sempurnanya, tidak lagi sempurna. Seorang pelanggan yang biasa saja datang ke kedai mereka. Kopi sempurna hanya disebutnya lumayan.

Dengan ekspresi sopan, bapak itu mengangguk-angguk, "Lumayan," jawabnya singkat lalu terus membaca. hal. 16 Filosofi Kopi

Entah takdir mana yang tengah dijalani Ben dan Jody. Keinginan, pencapaian, ambisi akhirnya harus melebur jua. Entah penulis ingin menampar hidup modern yang tak bermakna atau seperti apa. Yang saya tahu, yang saya temukan sebagai pembaca, bahkan segelas kopi pun adalah pemuas dahaga bagi mereka yang miskin makna kehidupan.

Selain Filosofi Kopi, masih ada lagi sejumlah prosa juga cerita yang sama kayanya dengan Filosofi Kopi. 

Selamat membaca.


Sabtu, 22 November 2014

Review Buku Mandar Nol Kilometer

BY Unknown IN , , No comments

Judul Buku : Mandar Nol Kilometer, Membaca Mandar Lampau dan Hari Ini
Penulis : Muhammad Ridwan Alimuddin
Penerbit : Ombak
Tahun : 2011


Berapa kali mengunjungi tanah Mandar meninggalkan kekaguman tersendiri. Seperti ada magnet kuat yang membuatnya untuk dikaji ulang bahkan diperhatikan lebih dekat. Pada suatu sore saat berkunjung ke toko buku, ada Mandar Nol Kilometer di sana. Buku di rak itu bergegas berpindah tangan.

*

Sebuah bacaan budaya yang menarik adalah bacaan yang disajikan secara etnografi, sebuah kajian komprehensif dan detail mengkaji kebiasaan masyarakat hingga menghasilkan sebuah budaya, adat-istiadat, bahasa, pola interaksi, serta hal paling terdalam dalam masyarakat, perasaan individu. Dan menurut saya, Mandar Nol Kilometer yang dituliskan oleh Muhammad Ridwan Alimuddin ini mengisi kehausan kita mengenai rekam jejak budaya bangsa. Siapa lagi yang harus menuliskannya jika bukan anak bangsa sendiri?

Secara garis besar, buku ini terbagi atas tujuh bagian tulisan. Masing-masing bagian diberi tema tertentu oleh penulis. Mulai dari sejarah Mandar hingga budaya literasi yang digiatkan oleh anak Mandar. Pada bagian sejarah, kita tidak diajak langsung bertamasya ke Mamuju, ibu kota Provinsi Sulawesi Barat, tapi ke sebuah kota bernama Tinambung. Selain tempat kelahiran penulisnya, Tinambung dulunya adalah sebuah kota dengan geliat pengetahuan yang tinggi.

Kampung Mandar, seperti halnya perkampungan Bugis, juga tersebar di beberapa wilayah di Indonesia. Kampung Mandar paling terkenal adalah Ujung Lero.

"Kampung orang Mandar yang paling terkenal adalah Ujung Lero di Kabupaten Pinrang, tak jauh dari kota Pare-pare. Wajar saja, letaknya hanya beberapa jam berlayar dari teluk Mandar,"
~hal.22, Mandar Nol Kilometer

Tanah Mandar juga terkenal dengan beragam kisah gaibnya. Penyebar Islam Tosalamaq Imam Lapeo, yang hingga kini masih bisa dijumpai makamnya di halaman Mesjid Nur Al-Taubah di Lapeo, memiliki kisah gaibnya tersendiri. Suatu ketika ia tengah berceramah pada murid-muridnya. Di tengah forum, ia lalu keluar ruangan dan melakukan gerakan dengan mengangkat tangan ke atas. Tak lama setelah itu, datanglah seorang tamu dari Bugis yang berterimakasih atas pertolongan Tosamaq Imam Lapeo. Tamu ini menceritakan pengalamannya diterjang ombak dan badai ganas di lautan lalu ditolong oleh Tosamaq Imam Lapeo.

Perkara tradisi juga menjadi hal yang penting di tanah Mandar. Posiq (pusar; pusat) memiliki posisi tersendiri dalam kebiasaan masyarakat. Jika membuat sesuatu, pastilah memiliki pusat. Bahkan jika mereka memiliki tradisi membuat mobil atau pesawat, pasti memiliki pusat. Istilah pusat pun juga berhubungan dengan perlakuan mereka ketika ada yang akan pergi melaut hingga hendak melaksanakan ibadah haji. Makna filosofis Posiq tak lain sebagai ritual yang menghubungkan manusia dan Tuhan dengan mengingatnya, mengingat bahwa padaNyalah harapan dari setiap usaha.

Budaya Mandar adalah apa yang ada di masa lalu, diyakini masyarakatnya, hingga terciptanya budaya baru sebab pertemuan budaya lain. Budaya kontemporernya juga bergeliat sering perkembangan zaman. Karya pemula menempati hati masyarakat. Saya jadi penasaran, bagaimana aroma film indie berjudul 45!!! karya anak Mandar.

Review Novel Milana

BY Unknown No comments

Judul Buku : Milana
Penulis : Benz Bara
Hal : 192
ISBN : 978-979-22-9507-8
Terbit : April 2013
Cover : Soft Cover

Milana adalah kumpulan cerpen tunggal pertama yang dituliskan oleh Bernard Batubara. Berisi lima belas cerita pendek bertema perempuan.

Lukisan Kali dan Pohon Tua, Beberapa Adegan yang Tersembunyi di Pagi Hari, Lelaki Berpayung dan Gadis Yang Mencintai Hujan, Goa Maria, Tikungan, Jung, Pintu yang Tak Terkunci, Cermin, Malaikat, Surat Untuk Fa, Hanya Empat Putaran, Semalam Bersama Diana Krall, The Beautiful Stranger, Semangkuk Bubur Cikini dan Sepiring Red Velvet, serta Milana, adalah judul cerita yang dituliskan dalam buku ini.

Bara, begitu penulis kerap disapa, cukup berani menulis tentang perempuan yang dituangkan dalam sebuah cerita pendek. Sebagian besar bercerita tentang romantika perpisahan, perselingkuhan, jatuh cinta, penantian, bahkan jati diri perempuan. Apresiasi besar harus diberikan pada sebab keberaniannya. Entah perempuan mana yang ditelitinya hingga ia membukukan kisah-kisah tadi.

Beberapa kisah membuat saya heran. Bisa jadi ini harapan Bara pada pembacanya. Beberapa kali saya harus menemukan kalimat-kalimat panjang, yang sebenarnya bisa dipendekkan lagi, agar lebih efektif. Sebagai pembaca, membaca sebuah kalimat dengan menahan napas adalah hal yang jarang disukai.

Sudut pandan Bara tentang perempuan mungkin berangkat dari pengalaman kesehariannya. Berapa banyak hubungan romantika yang pernah dijalinnya? Berapa kali sakit hati yang dirasakannya? Berapa sering sekingkuh, ditinggal pergi, serta rumitnya sebuah hubungan dialamainya? Mungkin itulah landasannya. Namun, Bara kurang mengksplore sudut pandangnya pada hal yang sifatnya detail pada perempuan. Emosi yang dibawanya dalam cerita masih butuh untuk dieksplor lagi.

Seperti pada cerpen Cermin. Bara harus jeli menghubungkan realita zaman. Apakah gadis jelita yang diceritakannya hidup pada zaman modern atau masa lalu di mana televisi tak dikenal. Detail teknis bahwa pria yang jatuh hati pada gadis, buruk rupa akibat cermin, harus diuraikannya menggunakan bahasa sastra. Alasan-alasan kecil mengapa si pria mengagumi ketampanannya, bagaimana rasanya memiliki cinta dalam hati yang tertahan, dan sebagainya.

Cerpen tentang perempuan yang dituliskan Bara semoga memberi pelajaran berharga bagi para perempuan dan membuatnya mampu memetik nasihat. Semoga melalui kisah yang ditulis Bara, perempuan di mana pun berada tak beranggapan bahwa hidup hanya tentang jatuh cinta pada pria, menangis ketika ditinggal, selingkuh saat memiliki pasangan, ataupun menanti penuh harap.

Hal yang juga mampu diragukan kemudian, bagaimana para remaja yang membaca kisah ini bisa berpikir kritis. Setiap orang memang memiliki kisahnya sendiri, namun terkadang khayalan bisa mengaburkan realita tentang siapa diri kita.

Selamat membaca Milana.

Senin, 27 Oktober 2014

Nelayan Makassar; Kepercayaan, Karakter

BY Unknown IN , , 1 comment


Judul Buku : Nelayan Makassar Kepercayaan, Karakter
Penulis : Prof. Dr. Tajuddin Maknun, S.U.
Penerbit : Identitas Unhas, Makassar
Cetakan : I
Tahun terbit : 2012
ISBN : 978-6028405-26-3

Makassar adalah salah satu wilayah Indonesia di sisi timur yang memiliki potensi kemaritiman. Ditulis oleh seorang Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, Makassar, buku ini menyajikan secara lengkap tentang kehidupan nelayan mulai dari keyakinan hingga kebiasaannya. Tulisan ini adalah hasil penelitian yang diharapkan menambah wacana budaya masyarakat hingga terjalin integritas sosial dan harmoni kultural etnis. 

Ketika melihat buku ini pertama kali terpajang pada sebuah toko buku di pusat perbelanjaan, saya memilih mengamatinya dengan seksama. Ditulis oleh dosen saya di kampus. Saya memang bukan mahasiswanya, apalagi terdaftar di Fakultas Sastra. Saya hanya peminat bacaan budaya dan sastra yang tidak digandrungi anak muda. Berada pada jajaran buku budaya, saya tahu. Buku ini tidak masuk kategori ‘best seller’. 

Buku bersampul merah darah ini berisi uraian mengenai foklor lisan (doa atau mantra), legenda Galesong, masyarakat Galesong, sistem pengetahuan tradisional, hingga lagu yang digunakan memanggil ikan.

Sistem kepercayaan yang dianut masyarakat nelayan tidak lagi banyak bertahan. Buku ini seperti oase dalam dahaga mencari jejak kearifan masa lalu. Dalam buku Nelayan Makassar ini, karakter nelayan kemudian ditonjolkan pada sistem nilai yang mereka anut. Profesi nelayan tidak hanya sekedar orang yang dipandang mengambil ikan di laut. Menjadi nelayan berarti berbicara tentang menjaga keseimbangan alam yang menyediakan sumber daya bagi manusia.

Uniknya, karakter masyarakat nelayan kemudian tercermin dari sistem kepercayaan mereka. Mereka meyakini bahwa alam dan manusia haruslah hidup berdampingan. Untuk menjaga kelangsungan eksistensi alam semesta yang menyediakan makanan bagi manusia, manusia haruslah berterimakasih. Kemudian terlaksanalah bentuk penghargaan itu pada kebiasaan mereka dalam keseharian. Bentuk memuliakan laut dilakukan dengan mengadakan upacara ritual sebelum turun mencari ikan, mereka juga mematuhi waktu agar tangkapan berjumlah banyak, apa yang harus mereka lakukan dalam persiapan melaut, mantra yang dirapalkan saat menaiki perahu, juga lagu dalam memanggil ikan.

Humanisme tampak dalam cengkrama para nelayan terhadap ikan dan manusia. Ada pembagian struktural dalam kapal. Begitu pula posisi bagi hasil antara punggawa dan sawi. Ikan diperlakukan selayaknya ia makhluk hidup yang didatangkan dengan keikhlasannya. Rejeki (ikan) yang diperoleh nelayan bukan pula kekayaan yang ditujukan pada ketamakan.
Bacaan ini memang bersifat ilmiah. Namun menjadi sebuah khasanah baru bagi kita yang mengetahui bagaimana seekor ikan tersaji di piring makan. Bacaan ini membuka mata kita bahwa ikan yang diperdagangkan memiliki muatan ekonomis, ekologis, bahkan teologis.

 


Senin, 15 September 2014

Resensi Buku Madre - Dewi Lestari

BY Unknown IN , , , , , , , , No comments

Cover Buku Madre

 Judul : Madre
Penulis: Dewi Lestari
ISBN : 9786028811491
Rilis : 2011
Halaman : 162
Penerbit: Bentang
Edisi: Cetakan kedua




***

Cover bukunya menarik, berwarna orange tua dengan latar sketsa klasik. Sehangat sampulnya, isinya pun adalah sajian hangat. Pertama kali melahap kehangatannya di tahun 2011, saat diterbitkan pertama kali. Selanjutnya, untuk kesekian kalinya yang tak bisa terhitung, seluruh bab demi bab habis dicerna.

Buku ini renyah, lembut, sekaligus menggigit. Madre tak habisnya menyuguhkan cerita serta puisi yang seolah biasa namun luar biasa. Madre menjadi kumpulan tulisan Dee Lestari yang begitu kaya. Terdiri dari 13 fiksi dan prosa pendek.

Cerita pendek tersebut terdiri dari Madre, Have You Ever, Semangkuk Acara Untuk Cinta dan Tuhan, Guruji, dan Menunggu Layang-Layang. Sebagai cerpen pembuka sekaligus judul buku, Madre seperti merampungkan banyak hal dari dialektika pemikan Dee. Ia seorang penulis cerdas, melakukan pencarian hidup, menemukan tujuan, dan mengambil maknanya. Setiap cerpen begitu berwarna, begitu pula pada prosa serta puisinya. Ada pelangi di setiap karya Ibu Suri, sebutan dari penggemarnya.

Kisah Madre, misalnya. Ia sadar bahwa keanekaragaman adalah sesuatu yang niscaya. Kita pasti berbeda. Warna kulit, rambut, asal keturunan, postur tubuh, serta apa yang kita pikirkan. Dee dengan cerdasnya menangkap hal berbeda itu dan membingkainya pada kehidupan seorang Tansen Wuisan. Keturunan India yang kemudian sadar bahwa dalam tubuhnya mengalir darah seperempat Tionghoa. Menarik bukan? Hanya itu yang dikisahkan Dee? Tentu tidak.

Ibu dari Keenan dan Atisha ini juga memiliki ciri khas dalam karyanya. Ia menjunjung tinggi satu hal yang disebut kemanusiaan. Dan sikap itu ia tuangkan bagaimana ia menjaga banyak hal secara manusiawi. Ini bisa kita simak ketika ia menceritakan bahwa biang roti diperlakukan secara manusiawi.

".... Madre mesti dirawat orang muda yang semangatnya baru .... " hal. 7, Madre.

Pada bagian lain malah disebutkan bahwa Madre menjadi warisan.

".... Namun Madre hanya bisa ia turunkan pada seseorang yang punya hubungan langsung ...." hal. 13, Madre.

Juga sapaan yang diberikan pada Madre untuk menunjukkan bagaimana harusnya memperlakukan ia.

".... Sebelum menutup pintunya, Bu Cory sempat-sempatnya berkata, Selamat Istirahat Madre." hal. 41, Madre

Usaha, kerja keras, menyelesaikan konflik, adalah keahlian lain Dee. Dibalik upayanya, ia tak lupa menyisipkan sisi spiritual pada setiap karyanya. Ini terlihat dari berbagai kontemplasi setiap tokoh. Metamorfosis mereka terbangun pada karakter tokoh. Ini menunjukkan bahwa Dee juga mengalami transformasi bersama para tokohnya.

Selamat membaca Madre, selamat mengalami perubahan diri.

Ibuk

BY Unknown No comments

Judul : Ibuk
Penulis : Iwan Setyawan
Kategori : Fiksi Sastra
Ukuran : 13.5 x 20 cm
Tebal : 312 halaman
Terbit : Juni 2012
Cover : Softcover
ISBN : 978-979-22-8568-0
No Produk : 20101120027

*

Jika harus merayakan bulan September, sebaiknya menengok buku Ibuk. Mengapa? Sebenarnya tidak ada hari khusus untuk mengenang kisah patriotisme seorang Ibu. Namun tetap mengabadikannya membuat novel ini layak untuk diberi apresiasi.

Setting cerita adalah kehidupan keluarga yang memulai perjuangannya dari ekonomi bawah. Iwan membuka kisahnya dengan romantika jatuh cinta antara Ayah dan Ibunya. Ini berangkat dari kisah nyata. Namun sebagai sebuah novel, terkadang pembaca jarang melakukan eksplorasi di sisi mana saja terdapat hal fiktif.

"Cinta membutuhkan keberanian untuk membuka pintu hati," Iwan Setyawan.

Alur novel ini berbalut drama. Pertunjukan yang disajikan dari panggung rumah tangga seorang perempuan bernama Tinah dan lelaki playboy bernama Tim. Mereka bersatu dalam ikatan suci, pernikahan. Mereka berdua tidak berasal dari keturunan yang diberi harta berlimpah. Tapi kebahagiaan melimpah dalam keluarga mereka.

Sisi yang diceritakan lebih banyak dari sisi Ibu, seperti judulnya, Ibuk. Kacamata melihat perjuangannya seperti dituturkan dengan kekaguman seorang balita pada ibunya. Bisa membayangkan bagaimana balita begitu bergantung pada Ibunya?

Balita ini lalu tumbuh seperti tanaman dari hari ke hari. Ia mekar bersama dengan kehidupan yang tidak seimbang. Jika boleh, hidup mereka bisa disebut melarat. Namun jangan salah, usaha keras sang Ayah dan kegigihan Ibu, mereka bisa melalui badai besar sekalipun.

Potret Cinta dalam Keluarga di Masyarakat Desa Indonesia

Potret kehidupan sehari-hari masyarakat desa di Indonesia digambarkan dengan detail dalam buku ini. Sepertinya penulis mengisahkannya langsung dari pengalaman yang dilaluinya. Seperti kebiasaan bangun pagi atau hal detail yang dilakukan seorang Ibu. Kecermatan, ketelitian, serta kasih sayangnya seolah terbagi sama rata.

Itulah cinta. Rasa yang dibangun dengan pondasi hampir di setiap penjuru desa di Indonesia. Kehidupan mereka beradab, arif, lagi bijaksana. Desa terbangun dengan keramahan penduduknya. Mengapa? Karena setiap keluarga menjunjung belas kasih, kasih sayang, toleransi yang tinggi.

"Cintanya, terbisikkan lewat nasi goreng terasi. Lewat tatapan mata yang syahdu. Lewat daster batik usangnya. Ah, begitu perkasa. Lima buah hati di tangan satu perempuan yang penuh cinta dan ketulusan," -Hal.42, Ibuk - Iwan Setyawan.

Apa yang bisa kalian tangkap dari kalimatnya? Iwan mencoba untuk menyederhanakan sesuatu yang spektakuler yang mampu dilakukan seorang perempuan. Terkadang, kita sering membandingkan kemampuan diri dengan yang dilakukan orang lain. Iwan berhasil melakukan itu. Ia memandang kemampuan seorang Ibu mendidik lima orang anak adalah perbuatan luar biasa.

Ini bisa mengingatkan kita pada pepatah bahwa Ibu sanggup mendidik seribu pemimpin. Iya kan? Hal lain yang patut kita renungkan, bagaimana seorang anak mampu merawat satu orang Ibu? Iwan lupa memberikan deskripsinya. Atau kisahnya hanya eksis pada hidup patriotiknya. Jika hidupnya usai, usai juga kisahnya.

Jika Iwan mengangkat sisi perjuangannya yang bertanggung jawab sebagai anak, mengapa Iwan tidak menuliskan bagaimana caranya ia harus mengenang Ibunya. Ia banting tulang sebagai bentuk perjuangannya memberi yang terbaik pada Ibu dan saudaranya. Membangun kembali rumah mereka yang penuh sejarah di desa. Tapi mengapa Iwan mengeksplorasi bagaimana setiap Ibu ingin dikenang? Para Ibu adalah pahlawan sebenarnya, bukan seorang yang hanya sekedar menjadi tempat pulang.


Rabu, 13 Agustus 2014

Tenun Biru

BY Unknown IN , , , , , , No comments

Judul: Tenun Biru
Penulis: Ugi Agustono J.
Kategori: Novel
Penerbit: Nuansa Cendekia, 2012
Tebal: 362 Halaman
Harga: Rp39.000


Ini adalah feature yang ditulis sebagai fiksi. ~Remy Sylado

 Ketika membaca sampul belakang buku ini untuk pertama kali, saya memantapkan hati. Nama besar Remy Sylado yang terpampang membuat saya yakin. Penikmat sastra yang baik, pasti mengenali karya maha dasyatnya. Apa lagi yang bisa menjadi jaminan jika salah satu sastrawan terbaik berkomentar atasnya.

Novel Tenun Biru dituliskan oleh Ugi Agustono J. Terbagi dalam 15 bab sebanyak 362 halaman. Lumayan tebal untuk dihabiskan dalam sehari. Benarlah yang dikatakan Remy Sylado. Sejak halaman awal, saya seperti merasa berada di atas tumpukan feature. Kisah ini dibuka manis dengan kegiatan sosial seorang perempuan urban dari sebuah Gang Kumuh di Jakarta.

Ratna, nama tokoh utama dalam novel ini. Digambarkan sebagai perempuan yang sempurna. Lahir dari keluarga mapan, mendapatkan pendidikan yang baik, karir yang gemilang, serta peduli pada sesama. Bukankah tokoh Ratna ini begitu mengikuti karakter manusia sempurna ala pelajaran PPKN yang didoktrinkan Orde Baru?

Janus, karakter pendukung dalam novel ini. Digambarkan seperti apa Janus? Jika Ratna digambarkan sesempurna paparan saya, Janus pun begitu. Memiliki jabatan yang bagus diperusahaan, ganteng, kaya, dan perhatian pada Ratna, pacarnya.

Bukankah mereka berdua adalah pasangan serasi? Ya, mereka adalah wujud pasangan utopis di kehidupan realis ini.

Sebenarnya, isi buku ini tidak melulu membicarakan Ratna dan Janus. Penulis ingin fokus memperkenalkan keindahan alam Indonesia, bahwa ada jutaan tempat eksotis namun tak pernah terjamah. Saya mengapresiasi baik pengenalan penulis pada beragam budaya di Indonesia. Ia memotret keindahan budaya Toraja dan Kalimantan. Namun, lagi-lagi kisah Ratna seperti sesuatu yang tak tepat diletakkan di novel ini.

Jika suatu hari, saya akan diberi kesempatan bertemu penulisnya, saya akan mengajukan pertanyaan. Mengapa karakter Ratna harus dibuat demikian?

Untuk buku ini, saya memberinya bintang tiga. Selamat membaca.

Selasa, 15 Juli 2014

Anna Karenina

BY Unknown IN , , , No comments

Judul : Anna Karenina
Penulis : Leo Tolstoy
Penerbit : Gradien Mediatama 
Tahun : 2013
Hal : 240
Edisi : Bahasa Indonesia
Leo Tolstoy adalah pencerita yang baik. Kisah Anna Karenina dibingkai dengan latar kehidupan sosial politik di zamannya. Terlahir dalam keluarga bangsawan, Tolstoy mampu merinci dengan baik bagaimana pergaulan kaum elite Moskow dan daerah di sekitarnya. Diterima secara sosial adalah hal wajib yang dibutuhkan setiap orang.

Anna Karenina memiliki segalanya. Kecantikan, suami yang memiliki jabatan, keluarga yang harmonis, serta terpandang di kalangan bangsawan. Setiap perempuan Moskow membicarakannya. Sikapnya yang ramah dan rendah hati membuat orang-orang terkadang iri padanya.

Terlalu banyak senyum palsu, pertemanan palsu, hingga kenalan palsu, yang berada di sekelilingnya. Pada umumnya, kaum bangsawan Moskow seperti kaum bangsawan lainnya, hanya akan memilih teman bergaul dari kalangan mereka saja. Mereka rela mengorbankan apa saja demi diterima dalam lingkup pergaulan kaum bangsawan. Diundang dalam sebuah pesta jadi salah satu indikator bagaimana masyarakat sosial menerima.

Latar materialisme dalam karya ini begitu kental. Lolstoy kemudian menampilkan orang-orang dengan watak yang tak jauh dari pergaulan kaum bangsawan. Pria bangsawan yang memiliki jabatan baik, pria bangsawan dengan pesona menggaet wanita, pria bangsawan yang berselingkuh, wanita bangsawan yang akan bertukar kabar dan gosip kaum elit, wanita bangsawan yang sering mengadakan pesta, wanita bangsawan yang menilai calon pendamping hidupnya dari status sosial, serta wanita bangsawan yang siap merebut suami orang. Bukankah mereka sama saja?

Kecerdasan Tolstoy nampak ketika memunculkan tokoh bernama Levin. Seorang bangsawan yang nampak memberontak pada kebiasaan modern Moskow.

Aku hanya sedikit kewalahan dengan kehidupan Moskow. Terlalu... apa yah, terlalu modern terlalu glamor,. Tidak dapat ku mengerti. Bahkan urusan kuku jari saja, aku tidak paham. (Anna Karenina, Leo Tolstoy. Hal. 27)

Peran Levin tidak mengambil porsi banyak. Meski tokoh sentralnya adalah Anna, Levin adalah penyeimbangnya. Ketika Anna hadir di pesta Debutante Kitty, pesta perkenalan seorang remaja yang menginjak dewasa, ia menempati ruang karena diterima secara sosial. Bagi Levin, ia hanya pria yang jatuh cinta kepada Kitty, keponakan Anna. Tatkala Levin ditolak oleh Kitty saat dilamar beberapa saat sebelum pesta mulai, saat itu pula ruang sosial menolaknya.

Orang-orang terlalu sibuk dengan citra. Menampilkan wajah baik, membanggakan diri, seolah tanpa celah. Jika Tolstoy tidak mengahadirkan perubahan sikap Anna, maka ia gagal. Latar belakangnya sebagai penganut kristen dan paham anarki membuatnya membangkang pada sistem sosial. Tolstoy adalah pelopor perlawanan tanpa kekerasan yang mengilhami Gandhi kemudian.

Ketika hidup dipenuhi gelimang harta, kekayaan, atau jabatan saat itu pula kita akan merasa hal itu tak pernah cukup. Dan Anna merasakannya. Ada sesuatu yang sederhana, sesuatu yang ingin diperjuangkannya. Meski cara yang ditempuhnya salah.

Selamat membaca Anna Karenina. Kisah cinta dramatis yang disuguhkan di dalamnya tak lain untuk mengingatkan kepada kita, bahwa kita pun terjebak dalam kehidupan yang mementingkan status sosial. Menilai orang lain atas dasar keturunan, jabatan, kekayaan, relasi. Persis seperti kehidupan di masa Orde Baru. Cerdaslah menangkap pesannya.

Sabtu, 07 Juni 2014

Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan

BY Unknown IN , , , No comments

Judul : Muhammad Lelaki Penggenggam Hujan 
Penulis : Tasaro GK
Penerbit : Bentang
Tahun terbit : Maret 2010
ISBN13 : 9789791227797
Bahasa : Indonesia
Seri : I
 
 
Siapa yang mengenalmu, akan mencintaimu. Sungguh. Cintanya semurni dirimu yang dipenuhi cinta. Kasihmu tak terbatas hanya pada manusia saja. Kelembutanmu bahkan menjadi pergunjingan semesta alam. Dan kau tahu itu. Walau begitu, tak ada satupun alasan yang membuatmu meninggikan hati. Engkah malah merendah dalam keagungan dan kemuliaanmu. Engkau Muhammad, lahir dari seorang perempuan mulia bernama Aminah. Tahun kelahiranmu penuh keajaiban. Ada berkah yang mengalir terus-menerus sejak kau lahir. Bahkan, rahmat selalu mengiringi pertumbuhanmu. Engkau suci sejak lahir.

Wahai, Lelaki yang jauh dari keburukan... (Muhammad, Lelaki Penggenggam Hujan, hal. 181)

Aku bahkan tak sanggup menyerap setiap keindahan bahasa yang ditujukan padamu. Kisahmu begitu puitis serta heroik. Tak heran ketika seseorang bernama Kashva mencarimu. Bukankah ada banyak pencari lain tentangmu selainnya. Dan kau tahu itu. Kau tahu bahwa kau akan dicari hingga hari akhir kelak. Meski kisahmu belum  dirangkai seindah menggambarkan sosok dan keagunganmu selayaknya kau diagungkan, setidaknya perpaduan kisah pencarian akan menjelaskan bahwa kau sangat pantas untuk itu.

Muhammad, hadirmu adalah pelengkap sekaligus penutup para nabi. Kedatanganmu telah dikabarkan para nabi sebelummu. Kitab suci yang turun sebelum kau lahirpun menyebutkan kedatanganmu.

Zarduhst, sang nabi Persia, meramalkan, jika seorang juru selamat dilahirkan, di langit malam akan bersinar bintang dengan kecemerlangan tak berbanding

Kashva kemudian melakukan korespondensi dengan berbagai orang dari wilayah lain. Salah satunya dengan El, pemuda biara. Dalam suratnya, mereka membicarakanmu. Bagaimana orang-orang memiliki kebiasaan akan datang berbondong-bondong ketika mengetahui bahwa juru selamat telah lahir.

Jauh sebelum Yesus, bangsa Persia dan Magian begitu mendambakan kedatangan seoang juru selamat. Mereka selalu berbondong-bondong  ke mana pun setiap mendengar kabar perihal kelahiran seorang juru selamat sembari membawa berbagai hadiah

Terkadang, aku merasa ada yang janggal dari kisah yang kerap diceritakan padaku di masa kecil. Bagaimana mungkin semesta mempertanyakan ciptaan Tuhan yang begitu sempurna. Ku ingat kisah pertanyaan makhluk langit. Mereka kebingungan akan apa yang akan diciptakan oleh Tuhan. Kau sempurna, diciptakan dari kemuliaan dan penghambaan. Keseimbangan dirimu, pengejawantahan semesta ada padamu.

Meski banyak hal yang membuatku tidak sepakat pada isi buku ini, namun kita harus moderat menilainya. Jarak hidup yang jauh serta berulang kalinya kisahmu diceritakan membuat kita hanya mengutip riwayat. Namun bagiku tak masalah. Itulah eksistensimu yang hadir pada relung para pencari.

Hal yang menarik juga terjelaskan dalam alur cerita tentang perang. Bahwa setiap peperangan yang terjadi pada waktu engkau Muhammad memimpin bukanlah peperangan untuk melanggar hak kemanusiaan, melainkan sebuah perang untuk memuliakan manusia. Terkait dengan penyerangan Mekkah ketika Muhammad menetap di Madinah adalah sebuah perang menghancurkan berhala, patung, yang kaum Quraisy sebut sebagai Tuhan. Ia malah menjamin perlindungan setiap orang yang bersaksi atas nama Tuhan.

 Tak pernah habis cerita tentangmu Ya Rasul, bahkan ketika kisah dalam buku ini diakhiri, sebenarnya tak terbatas hikmah tentangmu yang bisa diwariskan peradaban. Salam alaika ya rasul.

Kamis, 05 Juni 2014

Cerita Calon Arang

BY Unknown IN , , No comments

Judul Buku : Cerita Calon Arang
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Jumlah Halaman : 96
Kategori : Fiksi
Format : Paperbacks
Dipubikasikan : Maret 2009
Penerbit : Lentera Dipantara
ISBN13 : 97997312105

***

Mengapa Perempuan? Saat pertama kali membaca buku ini, naluri keperempuanan saya terusik. Yang manakah naluri yang berjenis kelamin itu? Bukan naluri itu sendiri yang memiliki wujud fisik, tapi hal fisiologis padanya mampu mempengaruhi secara psikologi bagaimana jiwa seorang perempuan. Apa yang dipikirkannya akan tercermin dalam tindaknya.

Pram mampu menangkap bagaimana pemikiran seseorang sangat berpengaruh pada apa yang ia lakukan bagi umat manusia. Pram menyajikannya secara menarik dalam novel berjudul Cerita Calon Arang. Ia menyajikan cerita tentang perempuan dari sisi yang lain. Ini juga masih erat kaitannya mistisisme yang dianut oleh masyarakt Jawa.

Kisah ini bermula dari seorang janda sakti, Calon Arang, yang memiliki seorang anak perempuan. Janda ini menyembah dewi yang mampu memberikannya kekuatan magis. Dengan sasajian tertentu, hajat yang hendak disampaikan, serta merapal mantra menjadi gambaran umum aktifitas sang janda.

Suatu hari, sang janda mengetahui bahwa masyarakat di sekitarnya menggunjingkan anak perempuannya. Anak gadis Calon Arang sebenarnya berparas cantik. Namun karena takut pada Calon Arang, tak seorang pria pun berani datang melamarnya. 

Calon Arang memohon kepada dewi untuk memberikan kutukan kepada masyarakat. Permintaan Calon Arang terkabul. Datanglah wabah kematian menjangkiti masyarakat. Warga di sekitar tempat tinggalnya meninggal satu persatu.

Ketersinggungan lalu menjadi awal dari konflik berkepanjangan antara Calon Arang dengan masyarakat. Konflik yang ditampakkan oleh cerita ini, Pram menggambarkannya melalui kemarahan Calon Arang. Betapa kalutnya masyarakat menghadapi wabah. Mereka yang menggunjing secara langsung hingga mereka yang tak tahu apa-apa pun menjadi korban. Calon Arang murka, perlakuan tidak adil yang menimpa anaknya harus mendapatkan pembalasan setimpal. Calon Arang membalas bara di hatinya, tersulut oleh amarah.

*
Banyak pesan moral yang terekam di dalam novel ini. Awal mula mistisisme Jawa sebenarnya telah dituliskan oleh Pram dalam buku Arus Balik. Di sini, praktik-praktik mistis itu menjadi nyata. Bukan hanya Jawa, praktik mistisisme masyarakat Indonesia bahkan terjadi hampir di semua penjuru. Sumatra, Kalimantan, Jawa, Maluku, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi hingga Papua.

Praktiknya pun ditujukan pada berbagai hal. Mulai dari yang baik, seperti teknik pengobatan, hingga praktik untuk mencelakakan orang lain. Tidak heran juga jika di era 2000-an, beberapa film Indonesia kerap menayangkan tema santet dan sejenisnya.

Menurut saya, tidak ada yang salah dengan pengetahuan mistikal pada masyarakat. Indonesia kental dengan kebudayaan yang lekat dengan alam. Hidup berdampingan hingga saling menjaga. Namun komunikasi yang tidak berjalan harmonis, menyinggung pihak lain tanpa peduli efek yang akan terjadi selanjutnya kerap menjadi hidangan sehari-hari.

Manusia dikuasai amarah, diliputi rasa benci, serta dengki.

*

Hal menarik lain dalam cerita ini terletak pada cara Pram mengakhiri cerita. Taktik yang digunakan untuk mengalahkan Calon Arang.

Selasa, 03 Juni 2014

Flowers for Algernon

BY Unknown IN , No comments

Judul : Flowers for Algernon, Charlie Si Jenius Dungu
Penulis : Daniel Keyes
Jumlah Halaman : 457
Tahun Terbit : 2006
Genre : Klasik Science Fiksi 
Edisi : Bahasa Indonesia
ISBN : 9793330023

***

Ini bacaan wajib bagi mahasiswa psikologi. Perkembangan ilmu psikologi terkadang membuat kita hanya bisa ber-ohh atau bahkan mengatakan 'masa?' serta bisa berkata 'kok bisa?'

Membaca Flowers for Algernon berhasil membuat saya berkerut juga lega. Saya jadi tahu bagaimana nasib mereka yang menderita disabilitas. Bagaimana perlakuan lingkungan sosial kepada mereka. Kehidupan sosial seperti memberikan sebuah penolakan atas landasan perbedaan. Namun di sisi lain saya menemukan bahwa kesadaran pada difabel sama dengan kesadaran bagi mereka yang mengaku normal.

Di beberapa hal, saya malah heran dengan bacaan ini. Di sini saya belajar banyak tentang etnografi penelitian psikologi sosial. Banyak hal dicatat dengan rinci. Alur penokohan ini membuat saya kemudian berpikir sejenak. Bagi pekerja sains, hal yang wajar menjadikan hewan sebagai makhluk percobaan. Sedangkan manusia, juga perihal wajar bagi mereka. Ini yang sulit dikompromikan menurut saya. Sebagai orang yang berlatar belakang ilmu sosial, memposisikan hewan dan manusia adalah dua hal berbeda. Menjadikan mereka sebagai bahan eksperimen itu menyakitkan. Menyakitkan bagi mereka secara mental. Menurunkan kepercayaan diri mereka bahwa mereka juga manusia.

Perkembangan wacana pengetahuan memang membuat kita tidak hanya menjadikan eksperimen sebagai salah satunya alat untuk mendapatkan pengetahuan. Kebenaran pengetahuan bukanlah sesuatu yang harus kita buktikan banyak di laboratorium. 


Ada banyak metode pembuktian sebenaran selain hal-hal yang sifatnya empirikal. Namun bagi manusia modern, hal materil adalah dewa yang mereka sembah.Manusia modern tergila-gila dengan benda-benda. Mereka melampiaskan keinginannya untuk memiliki, mengoleksi, mengumpulkan benda sebanyak mungkin. Mereka mengumpulkan pujian serta penghargaan di atas segalanya. bahkan ketika harus mengorbankan hal lain

Tapi pernahkah para ilmuan yang melakukan eksperimen memikirkan bahwa ada hal-hal di luar sesuatu ang sifatnya empirikal? apakah semua hal harus membuat kita melakukan percobaan? setelah melakukan percobaan, mereka memang memikirkan apa efek yang bisa terjadi. Lalu, apakah tindakan setelahnya? Apakah kemanusiaan berbicara tentang eksperimen laboratorium? Atau ada hal lain yang kita perlukan untuk memahaminya?


Menurut saya, Daniel Keyes ingin mengantarkan makna kepada kita bahwa ada nilai kemanusiaan yang kita lupa hari ini. Manusia modern terjebak pada definisi manusia sempurna yang dilihat dari sisi fisik saja. Manusia normal adalah manusia yang lengkap dengan seluruh anggota tubuh serta memiliki mentalitas yang baik. Mentalitas baik bagi manusia modern adalah mereka yang jauh dari keterbelakangan mental, mengoptimalkan fungsi otak secara seimbang. Secara sederhana, manusia adalah mereka yang tidak cacat.

Saya sedih menemukan fakta yang diungkaplan oleh Keyes. Kita selalu memberi cap diri sendiri bahwa kita adalah manusia normal. Charlie, tokoh dalam novel Keyes adalah contoh manusia yang tidak diterima masyarakat banyak dalam pergaulan sosial. Mengapa pergaulan kita melihat pada perbedaan?

Namun Daniel mengungkapkan lebih dari itu. Daniel ingin menegaskan bahwa aspek kehidupan manusia tidak hanya wilayah fisiologis atau sisi fisik saja. aspek psikologi adalah hal lain dalam diri manusia yang patut diperhatikan juga.

Disebabkan karena ketidaknormalan yang disadari Charlie pada dirinya, bahwa ia bodoh tidak sepintar dan senormal yang lainnya, maka ia memutuskan mengikuti penelitian yang bisa mengubahnya menjadi pintar. Charlie diharuskan menulis sebuah Diary tentang kemajuan yang ia alami.

Sejumlah test pun diberikan kepadanya. Tak hanya Charlie saja, penelitian itu juga diujikan kepada Algernon, seekor tikus. Dalam catatan harian yang dituliskan Charlie, ia sering menyebut-nyebut Algernon. Lambat laun, banyak hal-hal yang kemudian dirasakan Charlie. Ia sama sensitifnya seperti manusia lain yang disebut normal. Hingga perkembangan pesat Algernon, sang tikus, juga terjadi padanya.

Beberapa kali test, Algernon mampu memecahkan tingkat kesulitan dari test tersebut. Karena penelitian ini berkaitan dengan meningkatkan kapasitas otak, maka hal serupa juga meningkatkan kapasitas otak pada Charlie. Namun pemberian dosis-dosis tertentu berbeda bagi keduanya. Charlie berharap kemajuannya mampu mempengaruhi serta mengubah hidupnya.

*

Renungan kisah Charlie ini penting bagi mereka yang mendewakan IQ tinggi. Bisakah Charlie memilih sejak awal untuk dilahirkan dalam segala bentuk keterbatasan yang ada? Perbedaan yang lebih ditekankan oleh orang-orang ketimbang memperlakukan difabel selayaknya manusia masih terjadi. Ini terlihat dari ruang-ruang yang tidak banyak tersedia bagi mereka. Akses informasi jika tidak berdasar pada usaha pribadi, akan sulit untuk ditemukan.

Tahun ini saja, kita dibuat panas dengan sejumlah aturan yang menyatakan bahwa difabel dan yang terlahir tidak mendapat akses masuk perguruan tinggi. Untung saja pemerintah cepat mengubah hal itu. Beragam protes telah mencoreng wajah negara kita, disebut sebagai pelanggar HAM.

Senin, 02 Juni 2014

Gadis Pantai

BY Unknown IN , , No comments

Judul Buku : Gadis Pantai
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Jenis Buku : Roman Novel
Genre : Fiksi
Penerbit: Lentera Dipantera
Jumlah Halaman: 272
No ISBN : 979-97312-8-5

***

Pram selalu memukau dalam setiap tulisannya, termasuk kisah Gadis Pantai. Novel ini ditulisnya sebagai persembahan pada neneknya, seorang perempuan Jawa yang terpinggirkan oleh zaman. 

Seperti Tetralogi Pulau Buru, Gadis Pantai masih menceritakan Indonesia masa lalu. Saat pemerintahan kolonial berkuasa. Budaya yang ditampilkan dalam buku ini diceritakan dengan jujur. Dikisahkan dari latar belakang seorang gadis yang sehari-harinya tinggal di pesisir pantai. Ia disebut Gadis Pantai.

Buku ini adalah kisah sejarah tentang apa yang menimpa tanah jawa lengkap dengan penderitaan masyarakat yang tidak menempati kasta apa pun. Mereka hanyalah nelayan biasa, biasa tak makan, biasa tak mendapatkan uang, biasa tak sekolah, dan banyak biasa lainnya pada mereka. 

Jika berbicara budaya, kita akan berbicara produk ciptaan manusia. Tingkah laku dalam kesehariannya, yang dilakukan oleh banyak orang disekitarnya, hingga menjadi ciri suatu kelompok masyarakat, itulah yang kita sebut budaya. Budaya tidak melulu berkaitan dengan lagu daerah, baju adat, rumah adat, senjata tradisional, atau gelar-gelar kebangsawanan. Namun budaya bermakna lebih luas. Sebagai ciptaan manusia, budaya menunjukkan bagaimana identitas serta watak masyarakat yang hidup kala itu.

Melalui perspektif budaya, Pram mencoba mengusik bagaimana manusia tetap memiliki relasi dengan budaya. Untuk melihat bagaimana posisi manusia dan bagaimana memberikan posisi pada dirinya. Hubungan manusia dan budaya begitu erat. Sulit untu dipisahkan. Di mana manusia hidup serta berkembang, saat itu pula mereka menciptakan peradabannya. Peradaban yang menjadi ciri kebiasaan, itulah budaya. Mulai dari pemikiran, nilai yang mereka anut, penghormatan kepada dewa, alam, serta manusia itu sendiri, itulah yang disebut budaya.

Pram sangat cerdas membingkai kritiknya dengan menampilkan simbol-simbol dalam budaya masyarakat Jawa. Seperti ketika Gadis Pantai dipaksa menjadi selir Bendoro, santri yang bekerja pada pemerintah Belanda. Pernikahan mereka hanyalah pemanasan bagi Bendoro sebelum menikahi perempuan yang sederajat dengannya. Saat hari pernikahannya tiba, Gadis Pantai dibawa dengan iring-iringan. Ramai. Lengkap dengan bedak tebal menutupi polos wajahnya.

Gadis Pantai menangis dalam perjalanan. Tangisannya menyimpan ketakutan, kehilangan, hingga pengharapan. Banyak hal yang menjadi teka-teki dalam hidupnya. Usianya masihlah 14 tahun ketika menikahi Bendoro. Hari-harinya yang diisi debur ombak langsung berganti dengan suasana gedung besar, sepi dan status sebagai istri pembesar. Namun bagaimana pun status yang ia sandangnya, ia tetaplah seorang gadis miskin yang datang dari pesisir. Terlebih, mereka tak memiliki derajat apa pun dalam masyarakat elite.

Perbedaan derajat juga ditonjolkan dalam tingkah laku Gadis Pantai bersikap pada si Bendoro, suaminya. Suaminya digambarkan sebagai seorang alim, beberapa kali tamat Quran, serta telah dua kali naik haji. Ketika berada dalam satu ruangan dengannya, maka untuk keluar dari ruangan itu, seseorang harus berjalan dengan berjongkok tanpa membalik badan.

Ada yang mengganggu pikiran saya. Bukan tentang apa yang dipikirkan Pram. Namun realita yang ia suguhkan dalam kisah ini. Bagaimana mungkin seorang beragama memperlakukan orang lain sedemikian kejamnya? Bendoro memang tidak digambarkan sebagai pria yang senang main tangan. Namun peliknya hubungan suami-istri lebih terasa ketika banyak hal tak dibagi pada Gadis Pantai. Ia dibiarkan hidup dalam tanda tamya besar. Hingga suatu hari, setelah dua tahun pernikahan mereka, Gadis Pantai menanyakan kabar burung kedekatan suaminya dengan perempuan yang dipilihkan keluarga mereka.

Pantaslah buku yang disebut Pram terdiri dari tiga jilid ini dihilangkan. Jilid kedua dan ketiga, entah di mana rimbanya. Hanya jilid pertama yang sampai ke tangan pembaca hari ini. Kisah Gadis Pantai memang menyinggung banyak pihak. Mereka yang mendahulukan ego individu di atas kemanusiaan, adalah pihak yang harusnya paling mereka. Mereka yang memiliki jabatan, status sosial, merasa hidup di atas awan. Kemiskinan yang dituturkan begitu. Namun mereka yang tetap ingin berkuasa, akan memberangus setiap penentang yang pernah ada.

Cerita buku ini lalu mengalir membedah kemanusiaan yang terenggut. Gadis Pantai. Kisah seorang perempuan yang berasal dari keluarga miskin pesisir yang dipingit oleh bangsawan. Menjadi satu hal membanggakan bagi orang yang biasa-biasa saja kemudian dilirik oleh dia yang punya posisi. Terkuaklah tabir-tabir penindasan kemanusiaan. Bagaimana mereka sesama bangsanya, menindas bangsanya sendiri.

Meski Gadis Pantai bersuamikan 'orang bersar', tinggal di gedung, memiliki pembantu, orang-orang kota tetaplah melihat ia sebagai orang kampung. Label orang kampung bermakna kotor, bodoh, dan kurang beriman. Makna inilah yang seakan dikonstruk kembali oleh Pram untuk memaksa masyarakat modern membuka mata. Benarkah mereka yang dari kampung demikian? Atau justru cap tertentu diberikan kepada mereka atas kepentingan pihak lain. Kepentingan pihak yang ingin langgeng memelihara budak.Hingga kini, masyarakat modern kita tetap saja mengadopsi pemikiran ini. Kolonialis berhasil menanamkan pemikiran itu.

Pram selalu mampu menguak kejahatan sosial budaya pada zaman di mana ia hidup. Kritiknya memang lintas zaman. Di pulau Buru menjadi tempat ia menghasilkan banyak tulisan untuk diselundupkan ke luar negeri. Pram dengan lincahnya mampu meramu sejarah menjadi literatur sastra. Penindasan oleh penjajahan Belanda memang terasa di negeri kita, tapi penindasan oleh bangsa sendiri tak pernah dibenarkan oleh kemanusiaan. Hingga kini, kritik itu masih terasa. Hingga kini, persoalan kemanusiaan masih saja ada. Hingga kini, bangsa sendiri yang menindas rakyatnya.

Lalu apa bedanya kita merdeka dari Belanda namun tetap mengadopsi watak mereka?

***

Jika protes tak lagi di dengar, sastra harus bicara!

Selasa, 13 Mei 2014

Demi God

BY Unknown IN , , No comments

Judul : Demi God
Penulis : Bahar Azwar
Format : Paperback 
Jumlah Halaman : 256
Tahun Terbit :  May 2005
Penerbit : Gagas Media
ISBN : 979360073X

***

Saya lupa kapan tepatnya saya membaca buku ini. Seingat saya, buku ini saya dapatkan di tumpukan buku-buku discount di sebuah toko buku di Makassar. Awalnya, saya menganggap bahwa buku ini seperti buku fantasi sejarah yang lebih banyak berisi mitos.. Melihat sampul buku, saya siap untuk diajak bertualang ke masa silam. Gambaran di kepala saya, peperangan, perkelahian, pemberontakan akan mengiasi isi buku. Saat pertama kali membukanya, saya salah.  

Sampul belakang buku menyatakan seperti ini:
 
AHLI bedah adalah demigod. Titisan dewata ini diutus Penguasa Semesta Alam turun ke dunia sebagai penyebab kesembuhan. Bersenjatakan sebuah pisau penyembuh, Ropanasuri, ia malang melintang di arena berdarah melawan penyakit, dalam drama yang sudah dimainkan sejak dunia terkembang. Tragedi kadang tak terhindarkan tatkala kuasa terasa mutlak, tawaduk menjadi ria, rasio tercemar dengan rasa serta iringan nyanyian syaitan menyerukan Engkaulah Tuhan. Di saat itu pula ksatria tergelincir menjadi paria

Halaman demi halaman dari buku ini memang berisi peperangan, perkelahian, hingga pemberontakan. Namun ini sesuatu yang menjadi konflik para tokoh. Bukan perkelahian sesuangguhnya di atas tanah. Sesuatu yang lebih sulit, merasuk pada pemikiran mereka. Ini adalah sebuah bacaan bergenre science fiction. Dikemas dengan latar belakang dunia medis lengkap dengan seluk-beluk rumah sakit, profesi kedokteran, hingga kepanikan di ruang operasi. Menulisnya membutuhan riset yang bisa mengakses beberapa informasi rahasia tertentu.

Kehebatan sosok doktek bedah yang sering saya nonton di layar kaca menjadi kisah menegangkan di buku ini. Kita disuguhi pandangan lain tentang profesi dokter. Jika kalian pernah menonton film Good Doctor dari Korea Selatan, informasi ruang bedah juga dibahas dalam buku ini. Namun film tersebut dan buku ini berkisah dalam sudut pandang yang berbeda.

Seperti yang disampaikan oleh uraian singkat buku ini, Demigod diutus kedunia untuk membawa kesembuhan. Meski sebenarnya, bukan Demigod atau ahli bedah itu sendiri yang menyebabkan kesembuhan. Ada yang lebih pantas menyembuhkan yang memberikannya kepada Demigod.

Fiksi ini menawarkan angin segar bagi mereka yang ingin berpikir. Bab demi bab memang membawa kita bertualang hingga banyak rumah sakit di Indonesia. Ternyata, setiap rumah sakit di setiap daerah memiliki keterkaitan.

Meski kisah fiksi, nampak nyata penulisnya melakukan riset mendalam. Sisi psikologis seorang dokter yang melakukan malpraktik juga ditampakkan di sini. Sesungguhnya, malpraktik menjadi pesan lain yang tak nampak di sini. Kita sebagai pasien, hanya tahu bagaimana profesi dokter melakukan tindakan medis tanpa pernah berkompromi dengan pasiennya terlebih dahulu. Novel ini juga menguraikan bagaimana sesama profesi dokter akan saling melindungi dalam dunia keprofesian hingga ranah hukum ketika ada yang melakukan kesalahan di dalam ruang operasi.

Petualangan ini seperti nyata dan memiliki sejarah masa lalu. Ada mitos yang berkembang bagi profesi ini di dunia nyata, ahli bedah. Melalui buku ini, penulis seperti ingin menyampaikan bahwa terkadang kita terlalu berharap pada orang yang sebenarnya sama terbatasnya dengan kita. Mengingatkan agar tidak lupa sebagai orang yang dititipi pengetahuan. Bukan yang mengendalikan pengetahuan itu.

Lalu, masihkah anda menganggap bahwa ahli bedah adalah dewa?
 
selamat membaca.
selamat bertemu di ruang operasi

Minggu, 04 Mei 2014

Pahlawan-pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik

BY Unknown IN , , , No comments

Judul Buku : Pahlawan-pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik
Penulis : Saya Sasaki Shiraishi
Format :Paperback 
Jumlah Halaman : 11
Publikasi : January 2014
Penerbit :Komodo Books
ISBN : 9786029137
Edisi : Bahasa Indonesia
 
***
 
Jika orang tua kita hidup di masa pemerintahan orde baru, masa pemerintahan Soeharto sebagai presiden ke-2 Indonesia, dan membandingkannya dengan masa pemerintahan presiden-presiden setelahnya, maka sebagian dari mereka akan mengatakan bahwa era Soeharto lebih enak. Entah apa yang menjadi indikator mengapa mereka mengatakan enak.

Saya Sasaki Shiraishi memberikan penyajian fakta etnografis yang berbeda. Shiraishi membuka pendahuluan buku ini dengan menghubungkan konsep keluarga di Indonesia dengan pemerintahan Soeharto. Persepsi mantan penguasa 32 tahun di Indonesia itu tentang para pengawal, menteri, ajudan, atau pembantu-pembantu dekatnya disebut 'anak' oleh Soeharto. Dan sebaliknya, Soeharto akan disebut 'bapak' (Supreme Father) oleh 'anak-anaknya'.

Konsep keluarga yang dijelaskan oleh Shiraishi dalam buku ini adalah keluarga dalam arti hierarki. Dengan menganggap diri sebagai bapak, Soeharto menciptakan makna sebagai orang yang berkuasa atas anak-anaknya dan wajib untuk dipatuhi. Apa pun yang dikatakan oleh Soeharto, wajib untuk diikuti. 'Anak-anak' Soeharto kemudian dididik menggunakan prinsip kepemimpinan ABRI yang sekarang disebut TNI, yaitu Tut Wuri Handayani.

Tut Wuri Handayani yang diadopsi dari Ki Hajar Dewantara coba untuk ditafsirkan lain oleh Soeharto. Arti semboyan ini sebenarnya mengarah pada kebebasan setiap orang untuk mengembangkan diri namun ditafsirkan lain oleh Soeharto demi mewujudkan 'penertiban melalui penguasaan dan paksaan'. Beberapa prinsip pokok ajaran Ki Hajar Dewantara diperkenalkan oleh Soeharto untuk melembagakannya dalam sistem pendidikan 'benar' untuk diterapkan.

Dari kata 'keluarga' yang terdiri dari orang tua, kakek-nenek, kakak, adik, serta keluarga hingga kenalan menegaskan makna relasi kuasa. Bapak sebagai kepala keluarga disebut sebagai orang yang memiliki kuasa lebih besar. Konsep kuasa yang dilekatkan pada bapak dalam keluarga di Indonesia mengacu pada konsep bapak orde baru yang diinginkan Soeharto.

Hubungan dalam keluarga kemudian ditafsirkan sebagai relasi yang harus dipatuhi, ditaati, diikuti, sebagaimana model kepemimpinan ABRI atau TNI. Ini sangat jelas mengapa digunakan, untuk mewujudkan sesuatu yang tertib, dibutuhkan suatu paksaan.

Begitu pula di sekolah. Mengapa kita harus taat dan patuh pada Ibu/Bapak Guru di sekolah, yah...karena mengadopsi sistem ini. Jika kita mau merenung sejenak, yang harus dipikirkan, mengapa dalam konsep pendidikan kita patuh dan taat? Sebenarnya kepatuhan dan ketaatan kita untuk siapa?

Untuk apa para guru di sekolah membutuhkan kepatuhan kita? Kita harus mendefinisikan arti sekolah yang sesungguhnya. Jika sekolah hadir untuk mencetak manusia seragam, maka sistem komando itu dibutuhkan. Namun jika sekolah hadir untuk melahirkan manusia yang cerdas maka sistem komando tidak tepat digunakan.

Namun, inilah yang hadir hari ini di Indonesia. Empat generasi presiden yang memimpin Indonesia tak ubahnya Soeharto dalam hal pendidikan. Konsep Bapak/Ibu masih juga digunakan dalam arti perintah. Sekolah seperti sebuah cetakan besar untuk menghasilkan manusia pesuruh. Haruskah kita berhenti atau menarik diri dari sekolah?

Jika 'anak' melawan 'bapak', Shiraishi tak lupa pula menjelaskan bagaimana mahasiswa pada zaman itu diculik, disekap, dibunuh, hingga dimutilasi oleh rezim pemerintahan Soeharto karena mereka angkat bicara

Bahasa nasional membuat kaum muda menjadi bisu. Mereka digambarkan menjadi generasi bungkam yang tak tahu mengungkap pengekangan pada mereka. Bahasa nasional disebut tidak memilikinakar hanya karena sebagai bahasa perantara saja.

Soeharto memang dikenal memerintah dengan tangan dingin. Suara dibungkam, pelarangan karya Pramoedya Ananta Toer salah satunya menjadi contoh karya yang dilarang beredar oleh 'bapak'.

Mungkin, orangtua kita tidak sadar atas praktek sistemik yang diwariskan oleh rezim orde baru. Yang mereka tahu, hidup mereka sejahtera padahal tersiksa.

"Coba kecam raja-rajamu, belum habis kata-katamu berakhir menggeletat kau sudah akan roboh terkena mata pedang..."
(Pramoedya Ananta Toer